Blessing In Disguise
“Something that seems bad or unlucky at
first, but results in something good happening later.”
Begawan John Maynard Keynes[1] bertalu-talu mengingatkan agar pada masa ekonomi sulit, pemerintah perlu manambah belanja dan menurunkan pajak untuk merangsang sisi permintaan supaya mengangkat ekonomi keluar dari depresi. Artinya secara blak-blakan, dia menentang engkongnya sendiri, Adam Smith[2], karena sinuhun yang kusebut terakhir ini lebih suka memasrahkan penyelesaian depresi ekonomi kepada invisible hand, bahwa ekonomi memiliki kekuatannya sendiri untuk keluar dari masa depresi tanpa campur tangan pemerintah. Karena laissez faire yang secara harfiah berarti biarkan apa adanya, bagi dedengkot mazhab klasik ini seumpama kredo yang harus dipertahankan sampai ajal.
“Sejak Nabi Adam sampai Adam Smith, tak kurang dari 1.053
bukti di depan kumis baplangmu, bahwa ekonomi mampu menuju keseimbangannya
sendiri, itupun kalau kau mampu menghitungnya,” hardik Smith. Merasa kewibawaan
kumisnya dirongrong, Keynes tak terima, “Tapi itu di jamanmu dulu tuan, krisis ekonomi
1930 ini tak akan kunjung usai jika pemerintah terus-terusan melipat dompetnya seperti
rambut gelungmu itu.”
Dua diktat karya dua pujaanku yang bertengger pada rak buku
di meja kamar kostku itu memang selalu baku cakar, apalagi jika topiknya tentang
penyelesaian dampak depresi ekonomi seperti kondisi perekonomian saat pandemi
Covid-19 ini. Tak ada yang mau mengalah, tegang. Untuk alasan kenyamanan, aku
sengaja tidak mengoleksi buku karya Milton Friedman[3],
hulubalang kaum monetarist itu. Kau pasti sudah tahu musababnya. Pertama karena
dia bukan idolaku, alasan kedua karena ketiga mazhab ekonomi makro itu, tidak
pernah rukun sepanjang jaman.
Untuk meredakan ketegangan meja di kamar kosku, aku
memasang pigura ukuran 8R berisi poster pujaanku yang ketiga, tentu saja
perempuan, cantik bukan buatan, bodi aduhai, kutaksir tingginya sekitar 162 cm,
bagian filtrum[4] membentuk
konstelasi bibir merahnya tambah menawan, suaranya merdu, konon memiliki
jangkauan suara[5]
dari nada D3 sampai C6, lebih terkenal daripada kedua pujaanku di atas, untuk
sementara belum waktunya kusebut namanya.
***
Aku ditempatkan di KPP Badora sejak akhir tahun 2019, persis menjelang Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Aku sudah menikah, anak dua istri satu, terpaksa kutinggal di sebuah kota penghasil rokok kretek di Jawa Tengah sana, aku kost di Ibukota ini. Lapar dapat ditambar, rindu tak mungkin ditunda untuk dipadu, maka seminggu sekali aku pulang-balik. Ini semua gegara seorang sok pintar bernama James A.F. Stoner[6]. Kuduga setelah mendapat bisikan dari Hades, dewa penguasa neraka, dalam bukunya dia bertitah bahwa manajemen personalia adalah prosedur berkelanjutan untuk memasok SDM pada saat organisasi membutuhkannya. Arti turunannya adalah karena kebutuhan organisasi maka orang dimutasi. Tahu apa kau Stoner, itu di negaramu sana, kami ini adalah bangsa yang mangan ora mangan kumpul.[7]
Maret 2020 yang lalu, semakin santer berita
Covid-19 melumpuhkan dunia, tak hanya segi kesehatan tetapi juga ekonomi. Bahkan
Indonesia sudah duduk di ruang tunggu. Sementara kegiatan ekonomi harus
hibernasi, dikuatirkan akan berakibat resesi. Maka penanganan harus jitu kalau
tidak mau masuk ICU. Perekonomian harus dijaga dengan cermat kalau tak mau rawat
inap, kemudian sekarat, salah-salah masuk liang lahat.
Untuk itu Kementerian Keuangan dengan
bangga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-23/PMK.03/2020 bertajuk
Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona. Kemudian
menyusul di bulan April 2020 menggulirkan PMK-28/PMK.03/2020 berjudul Pemberian
Fasilitas Pajak Terhadap Barang dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka
Penanganan Pandemi Covid-19.
Pada intinya beleid itu mengatur bahwa
kepada WP yang terdampak pandemi Covid-19, akan diberikan fasilitas berupa PPh
Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, Pembebasan Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, Pengurangan
angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN dan insentif PPN ditanggung
pemerintah untuk barang/jasa untuk penanganan pandemi. Pada intinya pengurangan
pajak. Dengan harapan pengurangan/fasilitas itu nantinya dibelanjakan oleh si penerima
manfaat untuk konsumsi atau investasi, sehingga mengatrol sisi Permintaan.
Artinya secara tidak langsung, pemerintah mengeluarkan tambahan belanja. Sekali tepuk dua muka terpercik, cerdik. Aroma Keynesian
tercium di sini.
Kubaca di koran ibukota betapa ramai
kritikan atas paket stimulus itu karena tahu-tahu diubah dan ditambah di
sana-sini. Jika William N. Dunn[8] melihat ini, dia pasti mencibir,
“ini kebijakan publik, bukan celana kolor bapakmu, jangan main tambal sulam
seenaknya.” Begitulah pedasnya bunyi protes dari koran rindu oplah itu. Namun perubahan
itu perlu dimaknai sebagai kedayatanggapan untuk merespon kondisi real yang
memang dapat berubah setiap saat. Mengingat kondisi yang dihadapi adalah VUCA[9], maka harus terbuka. Artinya
organisasi publik harus agile, lincah, memiliki kedayatanggapan. Dan
tahukah kau kawan, kata agile itu sendiri tertulis setidaknya 9 kali
dalam buku Renstra Kemenkeu 2020-2024.
Akhir tahun 2020 yang lalu, KPP Badora
hanya mampu memetik realisasi penerimaan 96%. Berarti sudah tiga tahun ini
tidak mencapai finish. Sekarangpun Pandemi covid juga belum menunjukkan
tanda-tanda akan perlop. Apalagi Wajib Pajak dengan setoran pajak tahun 2020
terbesar, di tahun 2021 usahanya bubar. Bagaimana nasib penerimaan di tahun
2021 ini? Apakah target dan strategi yang dipasang sudah klop?
Rasanya
dongkol sekali menindaklanjuti ND penelitian pemanfaatan stimulus PEN. Untuk
apa ini semua, apa pada tidak sadar ya, ini semester kedua tahun 2021, lagi
giat-giatnya mencairkan potensi, data pemicu, mengapa repot-repot mengurusi
eligible/non eligible penerima manfaat stimulus PEN ini, buang-buang waktu
saja. Keluhku tak mau mengerti. Apalagi kuketahui kemudian, si penerima
stimulus itu masih saja posting tak sedap anti pemerintah di medsosnya, tak
tahu diri. Tapi ya sudah, dikerjakan saja.
Hari Jumat sore 24 Desember 2021, aku pulang ke Jawa Tengah dengan hati gundah. Karena
keempat Seksi Pengawasan yang lain sudah sejak bulan lalu dengan selamat
sentosa mencapai garis finish, sementara kami masih miris. Sudah seminggu ini
seksiku berkutat di angka 99%. Sementara akhir tahun kurang 7X24 jam lagi,
akankah pil pahit tahun 2020 mesti ditenggak lagi? Rasa was-was itu ditambah
lagi fakta bahwa setoran PPN yang diharapkan jatuh tempo di akhir bulan
Desember ini, di seksiku secara historis adalah tidak signifikan besarannya.
Tak
dinyana penelitian eligible/non eligible atas stimulus pajak PEN membuat
kejutan pada dini hari 25 Desember 2021. Seksiwasku mendapat SPM sebanyak 178
lembar dengan Kode Map 411141 Kode Setor 100. Kuintip dalam katalog mata
anggaran pendapatan, di sana didefinisikan sebagai Pendapatan PPh Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah, dengan jumlah rupiah sebesar 0,06% dari target penerimaan, sedikit
memang, tapi sangat berarti.
Gegara
SPM itu, dengan nyaris menyentuh net, seksiwasku berhasil menyeberangkan shuttlecock
dengan compang-camping ke lapangan lawan, sehingga hakim garis berteriak,
“masuk 100,06%”. Coba kau tengok angkanya itu, nol koma nol enam persen,
surplus tipis setipis rasa percaya diriku tempo hari. Aku bergetar.
Siangnya
sambil makan bersama di rumah kami, kuberitahu anak istriku bahwa seksiku
berhasil sampai di tempat yang diidamkan selama hampir empat tahun belakangan
ini. Mereka ikut senang. Istriku mengingatkan, “tambahan penghasilan bagi karyawan
karena stimulus PPh DTP itu, dapat digunakan oleh istri-istri di seluruh
Indonesia untuk belanja online, yang pada akhirnya memicu inflasi, dan
karena harga-harga naik maka produsen HP tertarik untuk produksi kembali, maka
pengangguran teratasi, itulah intisari kurva Phillips, ayah.” Tambah sayang aku
sama istriku, karena selain tangkas meramu nasi intip, juga trengginas membaca
kurva Phillips[10].
Aku tahu muslihatnya, dia ingin belanja online HP baru.
Selama
ini penelitian anomali stimulus dan eligible apalah itu yang tadinya
kuremehkan, ternyata memberi sumbangan di saat yang tepat bagi seksiku mencapai
tujuannya, dan mungkin banyak seksi was lainnya di seluruh nusantara. Surga.
Minggu sore aku kuatkan niat menuju
Jakarta. Masih sempat kulihat dari kaca spion, anak istriku melambaikan tangan.
Untuk merekalah aku melakukan ini semua. Supaya perjalanan nyaman, kulantunkan
tembang macapat asmarandana Kidung Rumekso Ing Wengi karya kanjeng Sunan Kalijaga,
yang diajarkan pamanku:
teguh hayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani.
Setelah menyetir mobil cicilanku
sekira 6 jam 53 menit, sampailah aku di kost belakang kantor pukul 00.53 WIB,
sial di pagi buta ini listrik negara lagi-lagi mati. Kamarku gelap. Di remang
cahaya lampu senter HP korea, kulihat poster idolaku yang ketiga. Dia masih
tersenyum rindu. Di bagian kanan bawah poster itu terdapat kalimat yang
membuatku semangat: “Like my diamond we’ll shine
together. Whenever wherever forever ever ever forever young”. Tak perlulah
terjemahnya kutulis di sini. Kalimat itu senada dengan wejangan Pak Dirjen tempo
hari, jadilah bintang dimanapun anda ditempatkan, daripada hanya mengutuki
mutasi, lebih baik syukuri dan tunjukkan prestasi.
Kemudian di bawah kalimat
itu terdapat tandatangan berbentuk seperti huruf J diikuti goresan artistik serupa
hati. Di bawahnya lagi bersusun rapi barisan huruf yang selalu membuatku adem. Barisan
huruf itu berjenis monotype corsiva dicetak miring, mesra sekali: Dari
aku kurung buka Ji-Soo koma Blackpink kurung tutup.
***
[1] Ekonom
penyelamat depresi besar, penulis The General Theory of Employment, Interest
and Money, diktat wajib aparat pemerintah yang suka utang.
[5] Tuts C4 ada di
tengah-tengah bilah piano, biasanya dekat dengan tulisan merk, C6 berarti 2
oktaf di atasnya.
[10] Ditemukan oleh
A.W Phillips, ekonom New-Zealand, menunjukkan korelasi berlawanan antara
tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran seperti mainan jungkat-jungkit.
diambil dari:
Buku Gemilang 2021 Kanwil DJP Jakarta Khusus (Halaman 93-99)
ISBN 978-623-99194-4-3
Komentar