Yogya Kembali

Entah kenapa, Yogya seperti bakteri, menginfeksi seenaknya, menginfeksi rasa ngebet setelah 2 tahun aku tak ke kota gudeg ini. Padahal dulu pas di Parangtritis, kuikrarkan, mungkin aku baru 4 atau 5 tahun lagi ke sini, aku akan ke kota-kota lain dulu, tapi entah kenapa rasa kangen mistis pantai selatan ini mengiris kejam, menembus hatiku tanpa perasaan, sampai keujung-ujungnya.
Subuh 18 Desember 2009, kumasukkan kunci start, kuinjak pedal gas pelan-pelan. Yogya! Ah, akhirnya aku kesana lagi, tunggu aku di pintu gerbangmu.

Kususuri jalan dari kawasan tua Jatinegara menuju tol Cikampek, matahari belum lagi datang pagi itu, mungkin dia sedang tidur lelap, setelah Jakarta diselimuti awan tebal semalam.
Semakin ke timur, semakin terang, matahari mulai memamerkan sinar jingganya yang lembut. Sinarnya menembus di sela-sela awan, membentuk tiang-tiang cahaya seperti tombak-tombak raksasa berjajar menghunjam ke bumi. Indah, simetris, lagi berkilauan. Mungkin seperti inikah pagar surga?

 
Rasa lapar segera menggerogoti perut kiriku, untungnya istri membawa roti sobek bikinan mertua. Roti dari tepung gandum yang dicampur sedikit mentega ditambah fermipan, setelah dibanting-banting sampai kalis, diisi coklat dan smoke beef sebelah-menyebelah, dipanggang dengan api kecil, ehm, empuk dan harumnya pasti membuat kelenjar ptialinmu memuncratkan saliva. Demi mencium harum roti sobek ini, anakku yang sedari tadi tidur di kursi tengah, terbangun.Pantura umumnya lancar, hanya saja 5 km setelah exit tol kanci, terdapat perbaikan jalan, sehingga satu jalur mesti berbagi dengan kendaraan dari arah berlawanan.
Setelah kurang lebih 6,5 jam di atas roda, kami sempatkan makan siang sate solo di daerah Batang. Lumayan empuk.
Akhirnya kami sampai di pertigaan, arah kiri ke Kendal / Semarang, lurus ke Magelang / Yogya. Ini masih termasuk daerah Weleri, jalanan naik turun, berkelok, seperti naga raksasa. Kirimu jurang, kanan tebing terjal, tapi pemandangan yang bisa kau lihat di segala arah, sangat sebanding dengan rumit kelak-kelok jalan ini. Bahkan kalaupun kau sempat mengintip dari kaca spionmu, di bidang yang sekecil inipun, pemandangan tak berhenti membuatmu takjub. Hijau daun, Coklat tanah, Kuning kembang bahu membahu membentuk diorama apik sepanjang jalan.
Sampai di kab Temanggung, ada pemandangan unik. Di sebelah kiri ada komplek pekuburan Cina. Besar nian bangunan kuburnya, berbentuk setangah bulat, seperti cetakan kue, terletak di emperan bukit yang menurun, sehingga tampak seperti dam-dam mini. Tak kutemui suasana angker.
Sejatinya kawasan Temanggung ini adalah pusat perkebunan Tembakau (nicotiana tabacum), namun bulan ini rupanya sudah lewat masa panennya, jadi tak kutemui ladang-ladang yang memantulkan spektrum hijau daun yang aseli Indian ini.
Masuk daerah Kedu, di kiri kanan ada iklan unik, Ayam Cemani. Bila ayam ini manusia, mungkin dia berasal dari Afrika. Ayam ini hitam sehitam-hitamnya, kulit, bulu, jengger bahkan lidahnyapun hitam. Di kampungku dulu ayam jenis ini adalah kesukaan dukun.
Masuk Magelang, di kiri kanan ada iklan oseng2 Menthok.
Matahari sudah mulai menyentuh tepi horison barat ketika aku memutar setir tepat di depan Tugu Yogya. Adem, tentrem, mistis dan putih. Jalanan agak macet, mengingat ini weekend. Seteleh check in buru-buru mandi. Karena lapar, di belakang Hotel Purosani ku susuri jalanan menuju Malioboro, ada warung Mie Ayam model chinese food, pesan bertiga, langsung amblas.
Malam itu Malioboro cukup rame, akhirnya diputuskan ke Mirota, entah kenapa, di Jakarta toko batik model
begini juga ada, tapi entah kenapa kawan, bertiga kami tak kuasa menahan langkah untuk tidak masuk ke pintunya, mungkin karena kepulan asap setanggi dan aroma bunga tujuh rupa telah menghisap kami kepada sihirnya.
Dulu semasih awal-awal bisa beli Batik sendiri, yang paling bisa kuterima adalah Batik model Yogya, motifnya sederhana saja, warna tak terlalu mencolok, beda dengan batik Pekalongan atau Cirebon misalnya.Sebenarnya stok batik di rumah juga masih ada, tapi lagi-lagi entah kenapa, akhirnya beli juga. Karena sudah malem, balik ke hotel langsung tidur.
Besoknya ke Parang Tritis. Masih ada sisa-sisa upacara Pelebon, semacam ritual melarung sesaji ke pantai selatan. Di beberapa bagian terutama di depan palung (pas 60m di depan posko Pengamatan Pantai) ada sisa-sisa taburan bunga tujuh rupa. Hari ini cukup terik.
Akhirnya lanjut ke Magelang, setelah sebelumnya isi bensin dulu di Rawon Ngangeni. Dua tahun lalu pernah mau ke Borobudur, tapi karena sudah gelap, ga jadi. Sekarang ke sana lagi, misinya memperkenalkan ke anak peninggalan sejarah yang telah diresmikan UNESCO sebagai World Heritage. Borobudur merupakan peninggalan Dinasti Syailendra sekitar abad 9 M. Yang aku heran adalah, kenapa benda sigini besarnya baru ditemukan oleh Tomas Stanford Raflles hampir 800 tahun kemudian? Apakah Mpu Sendok ketika memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Bagian Timur, tidak meneruskan informasi kalau ada Candi sebesar ini kepada anak cucunya? Pun tak ada tulisan sebelum Raflles yang menyatakan keberadaan Borobudur?
Akhirnya balik lagi ke hotel.
Besoknya ngubek-ubek pasar Beringharjo, ada aneka batik murah meriah, dan anehnya kebanyakan yang dijual adalah produksi Pekalongan.  
Sorenya makan di daerah Cangkringan, Yogya arah utara, seperti biasa mangut lele, gurame bakar tak lupa lalapan dan sambel, maknyus. Kami ditemani kunang-kunang (Photuris pyralis), mungkin mereka keluar demi menghirup bau sangit mangut. Terbang anggun, berkelap-kelip buntutnya.

Komentar

ariv mengatakan…
november tahun lalu aku kesana mas !!! keramahan orang yogya, seni dan keindahan serta kuliner yang enak memang ngangenin ...

Postingan Populer