Langsung ke konten utama

Ketiban Duren di Sydney

[OOB dikit, Out Of Blog. gapapa ya]
Setelah blingsatan kesana kemari dari siang sampai pagi, kira-kira jam 02.00 waktu setempat di depan Harbour Plaza, karena sudah tak ada angkutan umum, terpaksa deh cari taksi.
"Drive me to Intercontinental hotel, near Harbor Bridge, you know."
kataku tergagap mengenglishkan lidah. Belum selesai mengatur duduk di bangku belakang, terdengar si sopir menyahut dengan logat medok yang kedengarannya familiar di telingaku.
"O..Interkontinental nggih, monggo mas."
"What!" 
Di belantara Metropolitan Sydney ini, ironi pertama kutemui, ternyata aku malah bertemu orang jawa. Dan benar, pak Sopir aseli Temangung.

****

Kalau gak dibayari sama perusahaan MLM tertua dan terbesar, mesti mikir sebelas kali nginep di Intercontinental Sydney, bintang lima, semalam USD 245, lima hari lagi. Thanks God! 
Jakarta-Sydney dengan Qantas QF42, ehm enak banget karena ada wine di udara. 
"Do you rather choose red or white, Sir?"



Seumur-umur belum pernah aku dipanggil dengan kata sapaan Sir. Aku pilih red dan pura-pura gak bisa buka botolnya, minta tolong sama mbak pramugari, lumayan kan dilayani bule sekali-sekali.  Wine Australia lebih cocok untukku karena lebih manis daripada eropa. Dengan gerakan khas dan kecepatan yang tepat, mbak pramugari menyodorkan flight meal. Dan pakai piring dan sendok beneran, bukan steroform.
Matahari baru terbit ketika Qantas mendarat, antri di pintu imigrasi, disambut anjing pelacak narkoba. Begitu keluar bandara, aksi ndeso langsung kambuh, pakai baju hangat lengkap dengan syal, karena suhu 12 C dan sedikit windy, brrr dingin banget, padahal diluaran sana bule-bule cewek cuma pakai T Shirt dan kelihatan udelnya, tapi tak sedikitpun kedinginan. Baru tahu kalau di sini orang menyebut bus dengan Coach.

Sarapan di Hotel ada steak dan scallop, itu lho tiram mentah yang disajikan dingin dengan jeruk lemon seperti di film Mr Bean. Tlenyer...masuk ke kerongkongan. Sebenarnya makanan mentah agak begitu risih nelennya, tapi berhubung gratis, sikat aja. Setelah sarapan, hahahihi dulu, baru jalan-jalan bebas. Ga tau mau jalan kemana, akhirnya sampai di sebuah pasar, orang-orang berseliweran, anehnya di sini tukang semir cewek, kalau di jakarta, cewek model gini pasti sudah jadi bintang sinetron. Blingsatan kesana-kemari samapai pagi trus ketemu pak sopir orang Temanggung.

Besoknya ke Shark Island, pulau kecil tak berpenghuni, dulunya dipakai oleh pemerintah kolonial untuk menahan serangan tentara Jepang. Menuju Shark Island mesti pakai perahu semacam feri , semua lantainya dari kayu full furnise, mengkilat, tak ada sedikitpun coretan vandal, semua bersih. Di dermaga depan National Maritime Museum ada penduduk  setempat yang menawarkan keliling pantai dengan perahu-perahu kecil, mungkin meniru Venice.  Aku cuek aja setengah berlari mengejar rombongan. Penduduk itu pada bilang "Wow..very serious young man!"
Tahu apa kau soal serius pakdhe, la wong aku hampir ketinggalan feri. Feri melaju melewati bawah Harbor Bridge yang tersohor itu. Pemandangan lautnya very scenic, dari biru muda sampai biru tua. Sesampai di pulau, ada pertunjukan kendang asli aborigin, aku coba gabung, mereka mukul kendangnya kok bisa keras banget. Setelah kuamati pantes aja, la wong tangannya segede sapu. Ada berbagai atraksi sampai melukis karikatur, seharian rasanya gak cukup melihat semua pertunjukan.




***

Besoknya ke Blue Mountain, kawasan cagar alam di luar Sydney. Dinamakan gunung biru karena terdapat  hutan Kayu Putih. Uap kayu putih memancarkan warna biru. Kata pemandu nanti kita akan lewat  The Three Sister, kupikir tadinya grup penyanyi ternyata adalah 3 bukit berjejer yang konon menurut cerita aseli rakyat aborigin, tersebutlah raja yang sedang berperang, maka untuk melindungi ketiga anak ceweknya, sang raja merubahnya menjadi batu. Nanti setelah selesai perang baru dirubah lagi menjadi manusia. Malang tak dapat dihindar, sang Raja kalah perang dan mati, maka tiga gadis itu tetap jadi batu sampai kini.

Ternyata kita dibawa ke Scenic World, semacam wisata alam dimulai dengan menumpang gondola kabel, trus kereta bekas tambang batubara yang jalan menurunnya hampir 45 derajad. Juga habitat koala, hewan gendut berbulu yang suka ngantuk. Baru tahu ternyata koala pemakan daun kayu putih.



Malam ini kita Dinner di the Rocks! Kawasan bersejarah tepat di pinggir pantai. Makan malam dengan pemandangan pantai dengan latar belakang Sydney Opera House yang lagi mandi cahaya. Nafas sampai sesek karena indah banget. Tepatnya di Circular Quay West. Restorannya lupa (mungkin Italian Village-Napoli), menunya Italia banget, seperti kaum mafioso, lengkap dengan pembuka, main course, penutup dan wine. Temen malah ngutil 1 botol wine banderolnya USD 32 mumpung gratis. 
Di tengah hiruk pikuk makan tiba-tiba ada waiter maju ke mic ngaku kalo ada tamu di pojok sana yang kasih dia tip 10 dolar, sebagai balasannya si waiter mau nyanyi lagu opera. Halah, pelayan aja mau nyanyi lagu opera. Wah ternyata suaranya top markotop banget, ini waiter atau apa, lha kok suaranya kayak Placido gitu. Penonton tepuk tangan malah  separonya standing ovation. 
Kita sibuk makan lagi. Nah tiba-tiba ada waiter lain, ngaku diberi tip 20 dolar  oleh tamu di depan, jadi dia mau nyanyi juga dan menjamin lebih baik dari yang pertama. Gila, yang ini kayak Careras. Aku tersentak, suara kayak ginian kalau di Jakarta sudah jadi top tenor, lah di sini malah cuma jadi pelayan restoran. 
Trus tiba-tiba manajer restoran keluar, dia minta maaf atas kelakuan anak buahnya. Dia akan memberi contoh bagaimana menyanyi yang baik, karena dia orang Italia negeri asal opera (mulai rasis). Gila, suaranya mirip Bocceli
Selesai nyanyi dia panggil kedua anak buahnya, sepertinya dimarahi:
Si manajer Italia ini memarahi si pelayan yang perancis dan satunya orang aseli Aussie.
"Hey french and Aussie, you don't know how to sing well, I'm Italian where infant used to hear opera since in theirs mother womb!"

Si perancis ga mau ngalah :
"Hey you Italian and Aussie, you don't have passion to sing!"
dengan mengeja [passion] sengau berlebihan untuk menunjukkan primordialisme perancis.
Si Aussie yang merasa di kampungnya sendiri ga mau kalah juga:
"Hey French and Italian, you are only an immigrant here, look at the custumers here, they are all with me" 
Trus dia teriak, "Aussie, Aussie, Aussie!
Penontong menyahut : "Aussie, Aussie, Aussie!"
Suasana rasis mulai memanas. Tapi akhirnya mereka sadar kalau rasis ga boleh, kan kasihan sama semua tamu di sini yang sedang dinner. Akhirnya mereka mengaku kalau si Italian sebenarnya cuma berasal dari Gold Coast, si perancis sebenarnya orang lokal dari Melbourne dan si Aussie aseli Sydney. Trus mereka peluk-pelukan. Penonton takjub dan pada tepuk tangan sambil standing ovation.
Akhirnya mereka bertiga mengaku kalau mereka sejatinya bukan waiter dan manajernya, tapi memang kelompok trio tenor the three waiters. Pantesan suaranya yahud. Sebagai punutup mereka nyanyi bertiga sebuah aria dari Opera Turandot karya Giacomo Puccini "Nessun Dorma".
Nessun Dorma! Nessun Dorma!
tu pure, o, principessa..
Nella tua fredda stanza..
......
sekali lagi standing ovation.


Besoknya naik Harbour Brigde. Pinter banget kota ini menjual dirinya. Sesi naik jembatan ini berdurasi 3 setengah jam. Kita dikasih seragam khusus dan tali baja plus headphone untuk dengar komando pemandu. Untuk naik tiap peserta musti bayar 160 AUD. Mumpung gratis, ayo aja.

Malamnya kita nonton Circque de Soleil "Quidam", rombongan sircus yang lagi mangkal di FOX Studio, Lang Road, Moore Park, $99 ehm lagi-lagi gratis. Antara lucu, seru dan mules lihat atraksi  balet akrobat.


Besoknya ditraktir di Australian Jokey Club, thanks, yang ini makan lengkap ala table manner mulai pembuka, makanan utama, penutup dan tak lupa champagne.  Aduh, beratku langsung naik 5 kg seminggu ini.


Setiap hari makan steak ukuran barat, mulai sapi sampai lamb,-maklum gratiss- seneng banget sih, tapi dasar orang udik, aku kangen sama sambel trasi. Akhirnya kutemui ironi kedua.

Thanks to : AS/D, O/R, AF/LE, RH/NS, JS/RS


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhir Kisah Hidup Tokoh Film Bumi Manusia

Bumi Manusia, roman karya Pramudya Ananta Toer, merupakan bagian pertama dalam empat novel seri Pulau Buru- Bumi Manusia - Anak Semua Bangsa - Jejak Langkah - Rumah Kaca. Sebuah novel berseting tahun 1898 tentang pertemuan budaya-politik antara negeri jajahan dengan negeri induknya. Tokoh utama digambarkan seorang lelaki muda pribumi yang dididik secara eropa dan mengaguminya kemudian menghadapi kenyataan bahwa negeri terjajah selalu berada pada posisi teraniaya. Sehingga melawan melalui tulisan di koran yang akhirnya merangsang tokoh nasionalisme lainnya menuju pergerakan pra-kemerdekaan Indonesia.  Tahun 2019 Roman ini diangkat ke layar lebar oleh Falcon Picture, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Minke Tokoh utama, setelah kembali dari pembuangan dari Maluku menghadapi kenyataan bahwa seluruh hartanya termasuk kantor koran di Jalan Naripan Bandung, hotel di kawasan Jalan Kramat Raya, toko alat tulis/kantor di Kwitang Jakarta, rumah tinggal di dekat Kebun Raya Bogo...

Treking Cisadon

thanks for reading, Alternatif olahraga di hari cerah, memang perlu efort karena letaknya di pedalaman sentul selatan. Dengan mobil dari jakarta keluar pintu tol sentul selatan. Kemudian menuju titik 0 km Hambalang. Bermotor lebih praktis. Ikuti jalan menuju koordinat ini. parkiran trail prabowo https://maps.app.goo.gl/7T16kdmozDT6KNZg6 Parkir tidak terlalu luas. Mungkin hanya muat untuk 20 mobil dan 40 motor. Jadi usahakan pagi sudah sampai di titik start. Rupanya trek treking termasuk favorit  terbukti pagi benar sudah banyak yang datang. Panjang trek 7 km sampai desa Cisadon, elevasi tidak sampai 400 m, jadi bersahabat untuk treker pemula. Bahkan beberapa anak TK Nol besar terlihat semangat treking. Kondisi jalur sebagian besar jalan batu (makadam), jalan berpasir dan beberapa zona jalan berlumpur. Karena jalur berada di sisi tebing maka terdapat rembesan air yang mengalir ke jalur. Terdapat curug di kanan jalur, airnya meluap ke jalanan. Habitasi adalah hutan dataran rendah, d...

BLESSING IN DISGUISE

"...tulisannya renyah, selera humornya bukan kaleng-kaleng, mengingatkan saya pada James Herriot, Andrea Hirata, Mahbub Djunaidi dan Slamet Suseno..." (Alexander Zulkarnain-Inspektur Investigasi Kemenkeu sekaligus pegiat sastra Kemenkeu-narasumber pada acara peluncuran buku Gemilang 2021 Kanwil DJP Jakarta Khusus, 30 Maret 2022 ) Blessing In Disguise “Something that seems bad or unlucky at first, but results in something good happening later.”            Begawan John Maynard Keynes [1] bertalu-talu mengingatkan agar pada masa ekonomi sulit, pemerintah perlu manambah belanja dan menurunkan pajak untuk merangsang sisi permintaan supaya mengangkat ekonomi keluar dari depresi. Artinya secara blak-blakan, dia menentang engkongnya sendiri, Adam Smith [2] , karena sinuhun yang kusebut terakhir ini lebih suka memasrahkan penyelesaian depresi ekonomi kepada invisible hand , bahwa ekonomi memiliki kekuatannya sendiri untuk keluar dari masa depresi...