Langsung ke konten utama

Pemandian Dayang Sumbi di Tangkuban Parahu

thanks for reading,

Kawah Ratu
Gunung Tangkuban Parahu, sering dieja Tangkuban Perahu adalah gunung di tlatah Pajajaran yang melegenda. Jika dari Bandung cukup 20km ditempuh ke arah utara. Setelah lulus macet di Jalan Setiabudhi lurus saja ke arah Lembang. Kemudian melewati pasar Lembang ada pertigaan ambil kiri arah Subang. Jalan masuk ke areal wisata kawah ini sangat rindang ditutupi daun-daun jarum Pinus meksiko (Pinus merkusii) dan juga kebun teh (Camelia sinensis) di sekitarnya.

Uniknya gunung ini adalah anda dapat memarkir mobil persis di depan kawah Ratu. Sebenarnya Tangkuban Perahu memiliki banyak kawah namun yang paling terkenal dan sering dikunjungi orang adalah kawah Ratu.
Di kawah ini anda dapat menyaksikan lapisan batu seperti bentangan elips raksasa yang berlapis-lapis seperti kue lapis surabaya. Bagian paling bawah adalah sisa letusan zaman purba, kemudian di atasnya lapisan sisa letusan periode berikutnya. Konon gunung ini telah ada sejak 100 ribu tahun yang lalu dan masih aktif hingga sekarang. Buktinya sampai saat ini masih rutin menyemburkan uap panas, belerang dan gas.

Suhu di areal ini berkisar 17 derajad C sangat sejuk. Anda dapat menikmati pesona kawah Ratu  yang tak henti menyemburkan uap panas dengan berjalan mengelilingi bibirnya ke arah pasar souvenir. Di pasar ini tersedia aneka macam souvenir baik yang standar daerah wisata seperti kaos dan syal bertulis Tangkuban Perahu atau yang unik seperti Angklung dan kerajinan dari kayu Pakis.

Berbekal membaca cerita rakyat Sangkuriang, konon katanya si jelita Dayang Sumbi sering mandi di curug Cikahuripan. Menurut plang di sekitar pasar souvenir, letak curug ini lurus saja melewati jalan setapak yang diteduhi gerombolan pohon Catingi (Vaccinium varinglaefolium). Kata bapak penjual yang ada di situ jaraknya cuma 1 km.


Setelah berjalan beberapa lama ternyata jalanan terpecah dua yang arah kiri menuju Kawah Upas dan kanan menuju air Cikahuripan. Penasaran seperti apa ya curug yang menjadi favorit Dayang Sumbi ini. Mulai di sini trek agak naik namun jangan khawatir di sisi kiri jalan setapak telah dipasangi pagar. Sudah terbayang olehku betapa bening dan segarnya curug itu. Dan pasti si Dayang Sumbi itu senang dengan curug ini lantaran diteduhi Pakis-pakis (Polysitihum setiferum) hijau daunnya dan coklat rantingnya sehingga sinar matahari hanya temaram saja terpantul air curug. Sungguh mistis.


Namun alangkah kagetnya setelah terengah-engah sampai di tempat yang disebut air kramat Cikahuripan ini. Kulihat sebuah kubus kayu usang bersisi 30 cm. Umumnya disamping kotak kayu ini dijaga oleh seorang yang memegang tumpukan uang ribuan. Terdapat tulisan putih yang sudah mulai kusam. Namun masih jelas dapat terbaca : Mandi-Kencing Rp1.000,-.  Ternyata setelah berjalan sampai di sini yang kudapati adalah sebuah Toilet umum.

"Memang benar nak," begitu kata bapak tua penjaga Goa di seberang toilet ini. "Dahulu memang Tangkuban Perahu memiliki mata air dan air terjun (curug) namun karena longsor yang terjadi sekitar tahun 2005 membuat curug ini tak dapat ditemui lagi tetapi sumber airnya masih dapat ditemui di sebuah toilet umum tepat di depan gua". Haiyaaaaaaaa.

Hamparan Cantingi
Atraksi lainnya:
Kawah Domas
Sumber mata air panas yang terus bergolak. Juga terdapat kubangan kecil dimana pengunjung dapat merendam kaki yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit lantaran mengandung belerang. Cukup masuk akal karena beberapa salep sakit kulit yang dijumpai di pasaran menyertakan belerang sebagai ingrediennya.
Kawah Upas
Memiliki dasar yang datar dengan ditumbuhi pepohonan di salah satu sisinya.
 ***
Tarif Masuk 
Pengunjung Nusantara Rp13.000 Mancanegara Rp50.000

LegendaTangkuban Parahu
Alkisah Raja Sungging Perbangkara sedang berburu. Di tengah hutan sang Raja ingin buang air kecil dan ditampung di daun Caring. Wayungyang, seekor babi hutan sedang  bertapa ingin menjadi manusia dan meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan bayi jelita. Bayi dibawa ke keraton oleh Raja dinamakan Rarasati alias Dayang Sumbi.
Karena kecantikannya tersohor kemana-mana Dayang Sumbi jadi rebutan raja-raja, tapi tak satupun diterimanya. Akhirnya Dayang Sumbi mengasingkan diri dengan ditemani oleh si Tumang anjing jantannya. Suatu hari ketika sedang menenun,  alat yang digunakan menenun jatuh di bawah bale-bale. Karena malas mengambil si Dayang Sumbi berujar sekenanya barang siapa mengambilkan tororong itu jika laki-laki akan diterimanya sebagai suami. Dan datanglah si Tumang dengan membawa Tororong itu. Kemudian Dayang Sumbi melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.
Suatu hari Sangkuriang berburu ke hutan ditemani si Tumang. Si Tumang disuruh mengejar babi bernama Wayungyang namun tak menurut. Dibunuhlah si Tumang dan hatinya disajikan kepada Dayang Sumbi. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa itu hati si Tumang maka marahlah ia dan memukul kepala Sangkuriang dengan sendok tempurung kelapa.

Sangkuriang terusir dan mengembara. Belasan tahun kemudian tanpa sengaja bertemu Dayang Sumbi. Namun mereka tak saling mengenal. Maka terjalinlah kisah kasih di antara mereka. Suatu hari ketika sedang menyisir rambut Sangkuriang, Dayang Sumbi mengenali luka di kepala kekasihnya itu tak lain adalah anaknya sendiri. Namun Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahi Dayang Sumbi.
Demi menggagalkan pernikahan itu, Dayang Sumbi mensyaratkan Sangkuriang harus membuat Telaga dengan membendung sungai Citarum dan membuat Perahu dalam semalam. Dengan bantuan bala jin dibuatlah Perahu dari Pohon yang tumbuh di timur dirobohkan ke arah barat. Tunggulnya menjadi Gunung Bukit Tanggul dan ranting-rantingnya di barat menjadi gunung Burangrang. 
Dayang Sumbi menggunakan kain putihnya di sebelah timur sehingga membuat ayam jantan berkokok karena mengira telah fajar. Sangkuriang yang gusar akhirnya ...ah kau tahu kan akhir ceritanya.






    



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akhir Kisah Hidup Tokoh Film Bumi Manusia

Bumi Manusia, roman karya Pramudya Ananta Toer, merupakan bagian pertama dalam empat novel seri Pulau Buru- Bumi Manusia - Anak Semua Bangsa - Jejak Langkah - Rumah Kaca. Sebuah novel berseting tahun 1898 tentang pertemuan budaya-politik antara negeri jajahan dengan negeri induknya. Tokoh utama digambarkan seorang lelaki muda pribumi yang dididik secara eropa dan mengaguminya kemudian menghadapi kenyataan bahwa negeri terjajah selalu berada pada posisi teraniaya. Sehingga melawan melalui tulisan di koran yang akhirnya merangsang tokoh nasionalisme lainnya menuju pergerakan pra-kemerdekaan Indonesia.  Tahun 2019 Roman ini diangkat ke layar lebar oleh Falcon Picture, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Minke Tokoh utama, setelah kembali dari pembuangan dari Maluku menghadapi kenyataan bahwa seluruh hartanya termasuk kantor koran di Jalan Naripan Bandung, hotel di kawasan Jalan Kramat Raya, toko alat tulis/kantor di Kwitang Jakarta, rumah tinggal di dekat Kebun Raya Bogor, d

Kearifan Kampung Naga

Kampung Naga terletak di tepi jalan Tasikmalaya - Garut, tepatnya di desa Neglasari, Kecamatan Salawu. Menghuni areal seluas 1,5 hektare di tepi kali Ciwulan yang memiliki hulu di gunung Cikuray . Menurut mang Cahyan, pemandu asli kelahiran kampung Naga, kampung ini memiliki pemimpin baik formal maupun informal. Kalau formal ada ketua RT, nah kalau informal (adat) ada Kuncen . Untuk menuju kampung Naga mulanya kita menuruni anak tangga berjumlah 440 dan di sinilah akhir jaringan listrik, karena penduduk kampung ini mempertahankan tidak memakai energi Listrik.  Saat ini memiliki 113 rumah adat. Rumah adat umumnya rumah panggung terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Rumah umumnya terbagi menjadi empat bagian yaitu Dapur (dengan pintu berornamen anyaman bambu), ruang tamu (dengan pintu kayu, terkadang ada kacanya), ruang keluarga dan pabeasan (ruang menyimpan padi). Atap rumah terdiri