PANGRANGO AKHIRNYA KAU MEMANGGILKU

thanks for reading http://www.memorableindonesia.blogspot.com/


Sejak SD dulu pembina Pramuka kami bertalu-talu mengingatkan kalau yang namanya ber-ber, september-oktober dan kawan-kawannya itu, hampir selalu diguyur hujan. Maka jikalau harus pergi, pergilah ke tempat kau bisa berteduh. Petuah ini bulat-bulat kulanggar. Bulan November ini karena sebab yang tak jelas, kuputuskan mengunjungi Pangrango.
Pangrango, dengan tinggi 3.019 mdpl tercatat sebagai gunung tertinggi nomor dua di bumi Pajajaran ini. Berempat berangkat ke arah Cibodas tanggal 18 November 2011. Setelah sempat menumpang tidur di sebuah warung di pasar Cibodas, akhirnya pendakian dimulai pukul 10.15 esok harinya. Sampai camp Kandang Badak, trek yang dilalui adalah sama dengan jika kau mendaki Gede.  
Begitu memasuki areal Taman Nasional Gede Pangrango, kau disambut flora si raja hutan, Altingia excelsa penduduk setempat menyebutnya Rasamala. Daunnya hijau lebat, berwarna merah ketika muda, dan dapat dilalap. Pohon besar kokoh dari keluarga saxifragales ini bisa berumur 500 tahun.

Akhirnya kami istirahat entah dimana pada ketinggian 2.024 mdpl tepatnya di -6,76437 LS dan 106,98384 BT, tiba-tiba munculah Burung Hitam sambil bercuit-cuit. Mendarat tak lebih 5 meter dari kami, mengendap-endap di tanah, mungkin sedang menimbang kemungkinan mengambil remah-remah biskuit yang tak sengaja jatuh.

Aku menduga ini adalah Anis Gunung (Turdus poliocephalus). Jika melihat difinisi John MacKinnon dalam buku Panduan Lapangan seri burung halaman 347, nampaknya cocok. Burung ini di Sunda Besar umum terdapat di ketinggian 2.000-3.450 mdpl, memakan buah-buahan kecil dan invertebrata di tanah dan di semak-semak. Tinggal di antara tumbuhan lebat tetapi keluar jika keadaan tenang. Bernyanyi dari tenggeran pada pohon.

Burung Hitam ini rupanya jinak-jinak merpati, penasaran mendekati kami, tapi ketika kusodorkan remahan biskuit, rupanya malu-malu dia dan terbang lagi, lalu mendekat lagi, sambil bercuit-cuit. Ah sungguh suasana yang tak bakal kaudapati di bawah sana. Burung adalah fauna eksotis. Tak terhitung sajak dan lagu dikarang para pujangga untuk menghormati hewan cantik ini.

Setelah lulus trek air panas, perjalanan dilanjutkan ke camp Kandang Batu. Akhirnya sekitar pukul 16.00 sampailah kami di camp Kandang Badak. Suasana telah ramai saat itu, tak kurang dari 40 tenda telah berdiri. Seperti pasar malam dadakan.

Sementara aku memasak nasi uduk teri, bertiga yang lain mendirikan tenda. Tepat pada ketinggian 2.449 mdpl di titik -6,77735 LS dan 106,97502 BT. Dasar November, hujan gerimis tak henti mengguyur sepanjang malam. Tenda bocor di beberapa tempat, rembes. Petir pamer kegarangannya. Iseng menyambar kesana kemari.  Kuingat petuah guru IPA waktu SD dulu, petir bisa sangat gatal melirik kau berteduh di bawah pohon.  Dan sialnya kami berkemah di bawah pohon. Tapi dimana di Kandang Badak ini berkemah tidak di bawah pohon?

Ngeri mendengar suara petir menggelegar. Saat seperti ini sungguh kau merasa ciut dengan kuasa alam ciptaanNYA. Sayup-sayup kudengar lagu It is Well karya Horatio Spafford yang digubahnya tahun 1873 ketika sebagian besar keluarganya kecelakaan:

when peace like a river, attendeth my way
when sorrows like sea billows rolls
whatever my lot, Thou has tought me to say
it is well, it is well, with my soul

it is well, it is well
it is well, it is well, with my soul

yah semoga nyawa kami tak apa-apa, mengingat cuaca sedang tak bersahabat. Seperti biasa Kandang Badak sedingin kulkas, maka setelah makan malam nasi uduk gila ini kami istirahat karena rencana esok subuh kami meneruskan perjalanan ke Puncak Pangrango. Di tengah-tengah tidur ayam, tiba-tiba di sisi kakiku terdengar bunyi kresek-kresek. Semakin lama semakin intensif. Apalagi ini. Wah ternyata ada Cerpelai -semacam tupai namun lebih besar- berhasil masuk tenda dan rupanya dia penasaran dengan kantong kresek makanan kami.

Cerpelai ini berwarna putih kecoklatan, matanya berpendar kuning-coklat laksana kucing jika terkena hamburan sinar lampu senter. Dia berhasil menggondol sebungkus roti tawar yang masih bersegel. Alamak, kok ya tahu-tahunya memilih yang masih utuh.

Pukul 04.15 terbangun dan setelah sarapan sekenanya, kami berangkat ke Pangrango sekitar pukul 05.00. Sepanjang trek ke Pangrango banyak sarang laba-laba di tengah-tengah jalan. Sementara kami memiliki dua kesimpulan, pertama, Pangrango jarang dilalui orang, kedua, -ini yang kami khawatirkan- kami salah jalan. 

Syukurlah ternyata yang pertama yang benar, terbukti pukul 08.05 kami sampai di Puncak Pangrango. Sangat disayangkan kabut turun sehingga menghalang pandangan ke adik kembar Pangrango, Gede di bawah sana. Jika cerah, bisa kau lihat lereng kawah Gede sisa-sisa letusan jaman purba. Berderet-deret seperti gigi-gigi raksasa. Sangat indah, tak kalah dengan Monserat di Spanyol sana. Tapi tak mengapa, nyatanya kami telah sampai di puncak. Senyap, dan saking heningnya kau bisa mendengar desiran angin meniup ujung-ujung muda rerumputan dan dengungan sayap hewan gendut, lebah. Tak lekang aku dirundung takjub.

Komentar

WK-Wonosobo mengatakan…
Lama ga nulis apa lama ga manjat nich bos ...
Tunggulwulung mengatakan…
hahaha,,,ga manjat,,,nunggu musim hujan boss

Postingan Populer