Burangrang

thanks for reading,
"Ceu, lihatlah tanda totol di tumit anakmu ini. Nantinya pasti jadi orang yang tegar hati, kuat jalannya!", begitu kira-kira kata-kata ibuku meniru bidan kampungku waktu persalinan saat aku lahir. "Itulah dirimu nak!" tambah ibuku sambil mengulek lengkuas dengan cobek batunya.
***
Oh iya, namaku Herma, diturunkan dari Hermes, dewa yunani pelindung kaum pengelana, begitulah ibuku menamaiku sesaat setelah persalinanku. Tiba-tiba di kaki Burangrang ini terlintas kata-kata ibuku belasan tahun lalu, sepertinya baru kemarin saja.

Lihatlah cumulus di depan itu. Ekornya sudah menggulung ke bawah. Sudah jelas nantinya akan turun hujan. Bahkan dukun hujan BMKG sudah berhari-hari yang lalu mencatat dalam webnya akan turun hujan di tlatah Dayang Sumbi ini. Malah sesekali kilat menyambar di barat daya sana. Cakar ganas jingganya mencoba meremas ujung pohon di bukit itu. Tapi entah ini keputusan cerdas atau maha tolol aku tak tahu, tetap kukuatkan diri menuju kaki Burangrang.
Burangrang menurut Himpunan Pengetahuan Alam Sekolah Dasar anakku berada di lembang, 2.050 mdpl -tak terlalu tinggi memang- menjadi satu gugusan dengan saudara tuanya, Tangkuban Parahu. Siang ini tepat pukul 12, sudah berada di kaki Burangrang. Harusnya Matahari sedang terik-teriknya. Tapi sinarnya cuma sesekali tampak disela awan.

Setelah lobi singkat dengan pak Kopassus penjaga pintu masuk kawasan Situ Lembang, akhirnya kami diperbolehkan masuk, tentu saja dengan syarat : jangan memotong ranting-apalagi menebang pohon-, jangan membuang sampah sembarangan. Tentu saja langsung kami sahut dengan serempak, iyaaa pak, seperti koor ibu-ibu PKK ditawari dana praktek memasak oleh pak Kades.

Trek diawali dengan menembus hutan Pinus meksiko (Pinus merkusii). Tubuh rampingnya menjulang ke atas berebut sinar mentari. Daun-daun jarumnya yang hijau menjuntai diterjang angin, lentik. Dan lihatlah di bawah sana, daun keringnya yang terjatuh menghampar sepanjang jalan, coklat, bergaris-garis, seperti kasur, empuk. Embun masih saja menutupi sela-sela rantingnya, putih, dingin.

Belum selesai rasa takjubku demi melihat hutan Pinus yang cantik, di depan sana - di sela kabut- samar-samar kulihat punggung Burangrang yang perkasa. Berpaling acuh, tak sudi menengokkan barang sedikitpun wajahya kepada kami -enam pendaki culun-.

Seperti gejolak grafik Dow Jones, yang kadang membuat trader jadi tak waras lagi otaknya, begitulah jalur pendakian Burangrang. Sudah capek-capek naik, ehh ada lagi trek menurunnya, panjang lagi. Ini kapan sampainya. Kuhitung tak kurang dari empat punggungan harus kau lewati, jadi empat kali menaik, dan tiga kali harus turun lagi. Perlu sabar dan tak keburu nafsu.

Pagi di puncak Burangrang serasa di dalam kulkas. Baru lima menit di luar tenda, kulit jariku sudah keriput. Tak kuasa menahan dingin, kepakai sekenanya sleeping bag setengah basah


 















Komentar

ai hermayati mengatakan…
goooood, lanjutkan.....

itu sapa ai???? ga kenal ah hahahha

Postingan Populer