Pesugihan Gunung Kawi Pabrik Sabun Cuci

thanks for reading,
Penggilesan
Kisah ini disarikan dari pengalaman nyata, tepatnya terjadi sekitar tahun 70an ketika sabun cuci masih berbentuk batangan. Sebut saja pak Perbawa pemilik pabrik sabun cuci di kabupaten N. Pabriknya cukup lumayan untuk ukuran kota kecil waktu itu. Saya mendapatkan cerita ini dari beliau di suatu magrib sekitar awal tahun 2000an, begini lengkapnya:
    Waktu itu Pak Perbawa baru saja pensiun dari dinas TNI (kala itu ABRI). Sebagai seorang bintara beristri satu beranak tiga tentu sudah biasa hidup sederhana. Menjelang pensiun, pak Perbawa merintis usaha keluarga, memproduksi sabun cuci batangan. Saat itu masih jarang yang punya mesin cuci, maklum meskipun di Jawa, tak semua daerah dilalui jaringan listrik. Umumnya ibu-ibu mencuci baju dengan sabun cuci batangan memakai Penggilesan (semacam papan kayu ukuran 30X50cm, beralur di tengahnya). Mencuci biasa dilakukan di pinggir sumur atau kali. Di jaman itu adalah jamak ditemui di pinggir kali ibu-ibu mengobrol sambil mencuci baju.
    Di awal mula usaha, semuanya dikerjakan sendiri, mulai dari belanja bahan yang utamanya adalah lemak nabati dan natrium klorida, kemudian mengolah bahan baku sampai memasarkan produk jadi. Pemasaran masih dilakukan secara tradisional yakni dari mulut ke mulut atau menjaja langsung di arisan-arisan, teman kantor, acara keluarga sampai hajatan desa.
    Lama-kelamaan karena dikenal mutunya yang ciamik maka permintaan pasar meningkat. Karyawan bertambah, semula empat orang, kini belasan karyawan. Pak Perbawa merasa bahagia, kini selain menikmati uang pensiun TNI, juga mendapat penghasilan lumayan besar dari usaha pabrik sabun cuci. Keluarga pak Perbawa mulai bisa mencicil mobil walau bekas. Kehidupan keluarga meningkat kesejahteraannya. Bu Perbawa yang biasanya harus menghemat untuk makanan keluarga jika sudah mendekati akhir bulan, kini di akhir bulan justru sesekali makan bersama di restoran yang cukup mewah untuk ukuran kota kecil saat itu. Kehidupan bisnis berjalan normal sampai suatu saat pak Perbawa kedatangan teman lama, pak Sukri.
    Pak Sukri, sesama pensiunan bintara TNI, kini sukses usaha beternak katak hijau. Katak hijau menjadi bahan masakan swike, olahan kuliner katak berbumbu tauco atau goreng mentega. Pak Sukri sudah jauh-jauh hari sebelum pensiun, telah merintis usaha ternak katak hijau. Tak heran dia dijuluki juragan kodok. Pak Sukrilah yang pertama kali menyarankan pak Perbawa untuk merintis usaha sendiri sebelum pensiun. Jadi bagi keluarga pak Perbawa, pak Sukri adalah orang yang berjasa.
    Singkat cerita pak Sukri mengajak pak Perbawa ke gunung Kawi. Gunung Kawi berada di Jawa Timur, dikenal sebagai tempat memperoleh pesugihan. Awalnya pak Perbawa tidak mau ikut, karena istrinya seorang yang taat beragama. Pasti demi mendengar gunung Kawi, bakal terjadi pertengkaran keluarga. Karena bu Perbawa alergi dengan model ngalap berkah seperti itu.
    "Ngene lho cak, pancen pabrikmu saiki wis lumayan sukses, ning lek ra didukung sing ra ketok, yo ra bakal ngembang luwih gede! Saingan ombyokan, saiki mulai mbrudul pabrik liyane sing luwih modern. Mbok kiro kodokku ra ono sing 'nunggoni' ta?." Kata pak Sukri. [Begini mas, memang sekarang pabrikmu sudah lumayan besar, tapi kalau tidak didukung oleh supranatural, tidak akan bisa berkembang. Sekarang saingan banyak, pabrik modern bermunculan. Kamu kira usaha katakku tidak ada supranaturalnya?].
    Dalam hati pak Perbawa membenarkan kata temannya itu. Memang sekarang produsen sabun cuci batangan bertambah banyak. Baik yang merk rumahan maupun pabrikan besar. "Mosok to cak?" [Beneran mas?]. Dengan ragu-ragu akhirnya pak Perbawa menyanggupi ikut pak Sukri ngalap berkah ke gunung Kawi.
    Di hari yang ditentukan mereka berdua naik VW Safari ke gunung Kawi. Pak Perbawa berpamitan ke istrinya akan survei pasar ke kota M. Sepanjang perjalanan pak Perbawa membatin, apa iya yang baurekso gunung kawi sanggup membesarkan bisnisnya. Jangan-jangan hanya tahayul. Hoaks bahasa kekiniannya. Dalam hatinya dia meremehkan gunung Kawi sebagai sumber rejeki.
    Singkat cerita mereka sampai di gunung Kawi. Pak Perbawa heran ternyata gunung Kawi itu ramai orang, baik pengunjung maupun pengemis tapi anehnya suasana tetap sintru. Waktu itu pukul 2 siang dan ganjilnya lagi siang-siang begini ada pertunjukan wayang kulit. Terdengar suara sinden menyanyikan tembang macapat Dhandanggulo. Tembang jenis ini favorit bagi Pak Perbawa, karena Dhandanggulo adalah lagu yang mengisahkan kesuksesan hidup. Dhandang berarti panci/bejana untuk menanak nasi, gulo berarti gula yang manis. Manisnya kehidupan. Mereka berduapun menonton. Kebetulan Pak Perbawa memang suka menonton wayang kulit, saat itu lakonnya Romo tambak. Cerita Ramayana yang mengisahkan kesuksesan Raja Rama dari kerajaan Kosala membendung laut.
    Tak terasa, adegan sudah sampai pada babak Bodholan, yaitu adegan para prajurit berangkat ke kerajaan Alengka setelah menerima perintah dari raja Rama. Setelah itu secara berurutan akan masuk ke babak Jejer Sabrangan (adegan di pihak lawan yaitu Rahwana raja kerajaan Alengka), dilanjut Perang Gagal (adegan perang pertama antara prajurit kerajaan Kosala melawan kerajaan Alengka, di kedua belah pihak belum ada korban pepati) dan menuju babak yang ditunggu-tunggu oleh semua penonton yaitu babak Goro-goro (adegan punakawan yang berisi selingan humor atau isu kekinian yang dikemas secara lucu). 
    Akhirnya sampai juga pada babak goro-goro. Ki Dalang dengan tangkas menampilkan dua tokoh pewayangan dibawah bendang sinar blencong (lampu sorot ke layar pertunjukan wayang). Tokoh punakawan Semar sedang menerima tamu seorang ksatria/tentara bernama Raden Lhaksmana. Semar adalah manusia setengah dewa, perutnya besar, bertelanjang dada dan berjambul. Lhaksmana adalah adik tiri raja Rama. Semar berkata, "Oalah le, thole, opo mbok kiro aku ra sanggup nyugihne uripmu. Etan kulon lor kidul kuwi neng genggemanku. Bondo donya sing mbok jaluk bakal tak wenehno, ojo ngremehne aku yo le." [Oalah nak, apa kau kira aku tidak bisa memperkaya kamu. Dunia itu dalam kekuasaanku. Harta dunia yang kamu minta pasti kuberikan. Jangan meremehkan aku nak]. Mak dheg, pak Perbawa kaget, sepertinya tokoh Semar bisa membaca pikirannya. Pak Perbawa memang dari tadi meremehkan perewangan gunung Kawi. Dengan misuh-misuh pak Perbawa pergi dari pertunjukan wayang kulit. 
    Begitu keluar dari kerumunan penonton wayang kulit, di depan pak Perbawa tiba-tiba telah berdiri kakek-kakek yang mengenakan baju beskap hitam dan blangkon hitam. Rokok klobot kemenyan dihisap mbah-mbah itu, asap mengepul, bau dedemit menyeruak, pak Perbawa terbatuk-batuk. 
    "Monggo mriki pak," kata kakek yang ternyata bernama mbah Darbo. [Mari kesini pak]. Mbah Darbo mengajak keliling lokasi gunung Kawi. Seperti kerbau dicucuk hidungnya pak Perbawa mengikuti saja. Mereka tiba di area pohon Dewandaru yang dikeramatkan. Pohon yang termasuk keluarga jambu-jambuan (myrtaceae) ini tumbuh menahun, dapat mencapai tinggi sampai 5 meter. Orang kadang menyebutnya cerme londo. Bunganya berwarna kuning susu, berukuran kecil-kecil. Konon orang yang tidak sengaja kejatuhan bunganya akan kaya mendadak. Tak heran orang-orang senewen lalu-lalang di bawahnya, siapa tahu kejatuhan bunganya.
    Mbah Darbo melanjutkan,"Menawi sampun mantep, kulo aturi slametan jajanan pasar lajeng mangke mendet ramal nasib." [Jika sudah yakin, saya persilakan untuk selamatan keu-kue pasar, lalu menuju ke bilik ramal]. Yang dimaksud ramal nasib ternyata pak Perbawa disuruh ke tukang ramal. Tukang ramal itu sudah tua juga, memakai baju kombinasi warna merah dan emas, matanya sipit, kumisnya dan jenggotnya jarang tapi panjang. Kemudian dia mengeluarkan alat berbentuk tabung bambu berisi banyak stik. Melingkar membungkus pada stik itu adalah suatu gulungan kertas. Setelah menanyakan apa tujuan pak Perbawa ke gunung Kawi, lalu Tukang ramal itu komat-kamit membaca jampi, sambil menggoyang-goyangkan tabung bambu. Stik di dalamnya pada kopyak, berbenturan satu sama lain sampai mengeluarkan bunyi klotok-klotok. Aneh bin ajaib, perlahan-lahan ada satu stik yang naik, kemudian stik itu diambil.
    Kertas yang melingkar pada stik itu dibuka, dalamnya terdapat huruf china atau jepang pak Perbawa tidak tahu pasti, dan tukang ramal membacanya, "Ri chu. Fajar, itulah artinya". Pak Perbawa tidak mengerti. Kemudian tukang ramal membisikkan beberapa kalimat, pak Perbawa manggut-manggut.
    Akhirnya pak Perbawa dan pak Sukri pulang ke N. Sepanjang perjalanan mereka membicarakan pengalaman masing-masing dengan tukang ramal. Hasil ramalan kepada mereka berdua berbeda-beda, tapi ada persyaratan yang sama yaitu setiap tahun mereka harus sowan ke gunung Kawi, membuat selamatan jajanan pasar, kalau mau usahanya semakin sukses.
    Waktu berlalu. Ajaib, di tahun itu usaha pak Perbawa seperti ketiban durian. Permintaan sabun cuci dari kota sekitar berdatangan. Antara percaya dan tidak, penjualan tahun ini melesat 190% dibanding tahun sebelumnya. Pak Perbawa antara percaya dan tidak percaya apakah gegara gunung Kawi maka pesanan bertambah ramai atau karena memang dia akhir-akhir ini giat melakukan pemasaran ke kota-kota sebelah.
   Karena permintaan meningkat maka pak Perbawa membeli mesin cetak baru dan menambah karyawan. Areal pabrik juga diperbesar, yang semula hanya memanfaatkan garasi, kini menyewa tanah kosong milik tetangga. Kini karyawan pabrik sabun cuci "Matahari Terbit" menjadi enam puluh enam orang. "Ngrasakne keceh duwit." kata pak Perbawa. [merasakan kaki beralaskan uang]. Pak Perbawa bahkan sudah mampu membeli mobil baru Toyota Corolla DX.
    Delapan tahun berlalu dalam kesuksesan, pak Perbawa semakin sibuk mengurus pabriknya. Bahkan tak jarang beliau diundang persatuan purnawirawan dan persatuan istri purnawirawan TNI untuk menjadi pembicara motivasi bahwa kehidupan tidak berakhir saat pensiun. Pak Perbawa menunjukkan photo-photo kenangan sewaktu beliau menjadi narasumber pada acara kebangkitan ekonomi pensiunan. Photonya masih hitam putih, dan karena sudah lawas di beberapa sudut lembar photo sudah menguning.
    Awal tahun 80an, banyak pabrikan sabun cuci besar melakukan penetrasi pasar ke kabupaten-kabupaten kecil. Hal itu didukung oleh listrik negara yang sudah menjangkau beberapa daerah pedesaan. Sehingga mesin cuci mulai digunakan walau baru terbatas oleh keluarga-keluarga kaya. Saat itu tegangan listrik rumahan adalah 110 volt, bukan 220 volt seperti sekarang. Sabun pabrikan besar umumnya wangi dan tidak panas di tangan. Dapat dipakai di mesin cuci atau mencuci manual dalam bak/ember. Yang paling disukai ibu-ibu adalah busanya yang banyak. Dan satu lagi yang digandrungi ibu-ibu adalah beli dua bungkus sabun dapat piring atau mangkok gambar ayam.
    Sabun Matahari Terbit milik keluarga Perbawa tentu kalah bersaing dengan sabun modern. Lambat laun permintaan menurun. Pak Perbawa tidak tinggal diam, dia membeli mesin baru dan formula baru, dan strategi pemasaran baru, dengan harapan dapat memproduksi sabun modern. Strategi dilakukan dengan pendekatan kepada aparat pemerintah supaya pada saat kantor ada acara, maka sabun Matahari Terbit diberi tempat untuk memamerkan produk (showcase). Maklum kolega pak Perbawa saat pensiun ada beberapa yang menjadi kepala desa/kepala kelurahan bahkan Camat di kota-kota sekitar. Namun itulah ganasnya dunia bisnis. Perlahan namun pasti persaingan pasar dimenangkan pabrikan besar. Tak terbendung, satu-persatu karyawan mesti diberhentikan karena keuntungan pabrik sudah tidak mampu lagi menggaji karyawan.
    Kontrak sewa tanah selama 10 tahun akan berakhir tahun depan. Sementara menurut prediksi pak Perbawa, jika kondisi terus seperti ini maka perusahaan bakal tidak mampu mempertahankan ukurannya, maka pak Perbawa memutuskan tidak memperpanjang kontrak sewa.
    Satu demi satu mesin produksi dengan terpaksa dijual. Semua untuk menutupi gaji karyawan. Sial sekaligus ajaib, kini karyawan pak Perbawa tinggal empat orang, jumlah yang sama saat memulai bisnis. Garasi yang dulu sudah ditinggalkan sebagai lokasi produksi, kini digunakan lagi. Untuk menghemat biaya karyawan, tak jarang pak Perbawa ikut turun tangan mengolah bahan baku.
    Lima tahun pak Perbawa bertahan sejak keruntuhan itu. Di suatu malam pak Perbawa bermimpi didatangi sosok lelaki tua berjambul, perutnya gendut dan bertelanjang dada. Pak Perbawa terbangun, "Semar, semar," gumannya. Bu Perbawa kaget ikut terbangun, heran suaminya di pagi-pagi buta ini menyebut-nyebut semar.
    Keesokannya pak Perbawa menulis surat kepada pak Sukri. Saat itu masih umum orang berkirim surat melalui pos. Setelah dibubuhi prangko gambar Soeharto secukupnya, pak Perbawa ke Kantor Pos. Baru sebulan kemudian dia mendapat jawaban surat dari pak Sukri. Maklum karena pak Sukri sejak tujuh tahun yang lalu pindah ke kota di lain provinsi. Dibacanya surat itu, dan betul semua isi surat itu sama dengan apa yang ada di dalam pikirannya, bahwa ini semua disebabkan pak Perbawa tidak pernah sowan ke gunung Kawi.
    Keesokannya, pak Perbawa berpamitan dengan istrinya akan survei pasar lagi ke kota M. Kali ini dibonceng sepeda motor Honda CB100 oleh keponakannya, karena mobil VW Safari dan Corolla DX sudah dilego tempo hari. Sepanjang perjalanan pak Perbawa membatin, "mosok iyo, mosok iyo." Keponakannya heran kenapa pakdhe dari tadi komat-kamit mosok iyo mosok iyo. Pak Perbawa tidak mau dibonceng anaknya karena takut anaknya akan lapor ke bu Perbawa kalau dia ke gunung Kawi. 
    Sesampai di gunung Kawi, pak Perbawa seperti teringat 14 atau 15 tahun yang lalu ke sini. Beberapa sisi sudah berubah, beberapa ornamen masih sama. Ingatannya menerjang pengalaman yang dulu. Masih banyak pengunjung, masih banyak pengemis. Dan anehnya di jam 2 siang ini ada juga pertunjukan wayang kulit, persis seperti dulu.
    Lamat-lamat terdengat Sinden mendendangkan tembang macapat Megatruh. Pak Perbawa tidak begitu menyukai jenis tembang ini, karena Megatruh umumnya menggambarkan suasana kesedihan, kekecewaan atau prihatin. Menurut pak Perbawa, Megatruh berasal dari bahasa Jawa am- (awalan) + pegat (kata kerja) + ruh (kata benda). Pegat artinya memisahkan atau menceraikan. Ruh artinya Roh. Bagi pak Perbawa tembang ini dekat suasananya dengan proses pisahnya roh dari raga atau bahasa kasarnya sekarat. Tapi karena suka dengan wayang kulit, maka pak Perbawa tetap menonton. Siapa tahu nanti sinden akan menyanyikan dhandhanggula kesukaannya seperti belasan tahun yang lalu. Pak Perbawa menduga pertunjukan wayang baru dimulai pada babak Jejer (yaitu bagian yang mengawali cerita) karena setingan pertunjukan menggambarkan raja Rama dan para ksatria berada di istana Ayodhya.
    Aneh bin ajaib, saat ini lakon wayang adalah Romo tambak, sama seperti pertama kali pak Perbawa menonton di sini belasan tahun yang lalu. Ki Dalang suluk, bertitahlah raja Rama dihadapan para pejabat istana tentang tantangan yang dihadapi kerajaan Kosala, maka ini adalah babak Kedhatonan. Lalu Raja Rama memberi perintah kepada Anoman dan Lhaksmana bahwa Dewi Sinta harus direbut kembali dari penculik. Kemudian Anoman dan Lhaksmana menuju ksatrian untuk mengatur strategi, bagaimana cara mengalahkan Rahwana, raja Alengka yang bermuka 10 nan sakti, maka ini adalah babak Paseban Jawi
    Karena hapal, pak Perbawa membatin, setelah ini pasti akan menuju babak Bodholan, kemudian pasti ke babak Jejer Sabrangan, lalu pasti ke babak Perang gagal dan setelah itu masuk ke babak yang paling ditunggunya yaitu lawakan di babak Goro-goro.
    Tiada angin tiada hujan, tanpa permisi tahu-tahu ki Dalang meminta pada pak Penyumping untuk diberikan bilah wayang Semar. Penyumping adalah asisten dalang. Sejenak asisten itu kebingungan, karena di tangannya sudah siap dua bilah wayang yakni Anoman dan prajurit untuk masuk ke babak bhodolan. Setelah mendapatkan bilah wayang Semar, maka punakawan Semar itu disabet ke muka layar, terkena pendar sinar blencong. Telapak tangan kanan Semar terbuka, diangkat sampai menempel di dahi Semar, sementara tangan kirinya berkacak pinggang. Sekarang Semar memperkenalkan diri bukan sebagai Semar tapi Hyang Ismaya. Hyang Ismaya tertawa terkekeh-kekeh. Pak Perbawa heran, mengapa ki Dalang langsung masuk ke babak goro-goro, seharusnya bhodolan terlebih dahulu.
    Di layar tidak ada tokoh pewayangan selain Hyang Ismaya. Dia berkata-kata ke arah penonton. Pak Perbawa merasa Hyang Ismaya berkata langsung ke arahnya. "Wis tak kandani le, etan kulon lor kidul neng genggemanku. Aku mung njaluk saben tahun kowe slametan jajanan pasar neng kene. Gampil to, tapi ra mbok laksanaake. Saiki banjur wis sekarat, kowe teko. Lha arep ngopo kowe mrene, ra ono gunane." [Sudah kubilang nak, harta dunia dalam kekuasaanku. Aku hanya minta hal gampang, yaitu kamu datang selamatan di sini setahun sekali. Tapi tidak kamu lakukan, sekarang ketika ekonomi sudah sekarat, kamu ke sini, tidak ada gunanya lagi]. Kemudian Hyang Ismaya sambil tertawa mengejek keluar layar, bilah wayang Semar diterima pak Penyumping lagi. Ki Dalang meminta tokoh Anoman dan prajurit, lalu masuk ke adegan yang seharusnya yakni Bodholan. Pak Perbawa merinding.
    Sambil misuh-misuh, pak Perbawa keluar dari kerumunan penonton. Perasaannya campur aduk antara tersinggung, malu dan marah. Tiba-tiba di depan pak Perbawa sudah berdiri pemuda umur 20an tahun memakai baju beskap hitam dan blangkon hitam. Wajah pemuda itu mirip dengan mbah Darbo yang ditemuinya 15 tahun yang lalu, di tempat sama. Rokok menyannya sama, alisnya, kumisnya sama, hanya warnanya yang beda, masih hitam.
    "Monggo mriki pak," Kata pemuda berbaju beskap itu. Seperti dejavu, pak Perbawa mengikuti pemuda itu, sama seperti dia mengikuti mbah Darbo dulu. Dibantu oleh pemuda itu, pak Perbawa melakukan selamatan jajanan pasar. Kemudian dilanjut membakar dupa wangi dan menabur bunga tujuh rupa. Setelah selesai, mereka menuju ke bilik ramal di belakang sana. Adegan demi adegan seperti mengulang saja dengan kejadian 15 tahun yang lalu.
    Di depan tukang ramal, pak Perbawa mengutarakan maksudnya. Tukang ramal mengangguk lalu mengeluarkan tabung bambunya. Orang sini menyebutnya bumbung. Sama seperti dulu, di dalam bumbung itu berisi puluhan stik. Bumbung digoncanggoncangkan, sampai berbunyi koprok-koprok, lalu perlahan ada satu stik naik ke atas. Stik diambil, kertas yang melingkari stik itu dibuka. Dalam kertas itu tertulis huruf China. Tukang ramal membacanya, "Ri luo." "Apa?" Sahut pak Perbawa. "Matahari tenggelam." Pak Perbawa kaget bagai disambar petir.
    Dengan kecut pak Perbawa pulang ke N berboncengan motor dengan keponakannya. Di tahun-tahun selanjutnya memang benar, usaha pabrik sabun cuci milik keluarga Perbawa semakin surut dan akhirnya tutup sama sekali. Kini pak Perbawa pindah ke kabupaten B, kota kecil di selatan N. Pak Perbawa berusaha memutuskan hubungan dengan kenangan kegelimangan sekaligus  kepahitan di kota N. Yang penting bisa berbahagia dengan istri walaupun hidup sederhana ala pensiunan. Kini anak-anaknya sudah pindah ke kota lain mengikuti pekerjaan atau usahanya masing-masing. Hampir dua puluh tahun ini Pak Perbawa menyimpan rapat-rapat pengalaman mistis itu. Sampai akhirnya di suatu magrib gerimis di emperan rumahnya yang bersahaja, beliau menceritakannya pada saya.



Bagaimana dengan pak Sukri? bersambung
 




Komentar

isna saragih mengatakan…
Wah, menarik ceritanya pak, meski cukup panjang.

Pertanyaan saya, apakah pak P dari kota N ini pernah tinggal di Bangko?

djangki |Avant Garde
Tunggulwulung mengatakan…
Tidak pernah. Justru pernah tugasnya di indonesia tengah saat ada pemberontakan KM
Tunggul Amenthung mengatakan…
Menurut penerawangan saya hoki Pak Perbawa sejatinya adalah di bidang kuliner. Coba beri saran agar beliyau membuka usaha kuliner Katupek Tunjang, semoga bisa sukses.
Tunggulwulung mengatakan…
Mie celor bae lah

Postingan Populer