MEMETIK EKOR AWAN DI ALTAR SUCI CIREMAI Part 1

By Tunggulwulung

Ciremai? Oktober? Hm, Seketika terbersit pertanyaan di otakku, “apakah cukup bijaksana mendaki Ciremai di bulan Oktober?” Kau tahu kan kawan, bulan begini hujan mulai mengguyur bumi Prabu Siliwangi. Data tiga bulanan ahli nujum hujan BMKG jelas-jelas tertulis bahwa selama Oktober akan terjadi hujan intensitas sedang. Kuberitahu rahasia kawan, aku kadang-kadang kejangkitan penyakit sinting Lombrosso, setidaknya begitulah sebutan guru SDku untuk orang gila jenis ini, yaitu melakukan tanpa mikir. Untungnya kami mendapat informasi dari LSM Laskar Alam bahwa sampai minggu kedua Oktober, di pos pertama pendakian (Linggarjati), hujan baru turun dua kali. SARMATA (Satuan Anak Rimba Madya Utara) memutuskan tetap mendaki Ciremai tanggal 24-25 Oktober. Tim berangkat dari terminal Pulogadung Jumat malam 23 Oktober 2009.

Ciremai, begitu yang tertulis di Atlas untuk Sekolah Dasar, adalah gunung berapi aktif yang terletak di kabupaten Kuningan, memiliki tinggi 3.078 meter dpl tercatat sebagai gunung tertinggi di tanah Pajajaran. Gunung ini berbeda dengan gunung lain di Jawa Barat, yang umumnya terletak di daerah pegunungan sehingga pos pertama pendakian sudah berada di tempat yang cukup tinggi. Ciremai seolah-olah menyembul sendirian dari perut bumi di daerah yang tidak terlalu tinggi sehingga rentang altitude dari pos pertama ke puncak lumayan jauh. Menurut penduduk sekitar lereng, gunung itu seharusnya disebut Cereme, pembubuhan ci hanyalah kelatahan orang sebagaimana biasa menyebut tempat-tempat lain di tanah Sunda.

Pendakian dimulai Jumat pagi pukul 08.14 dari pos Linggarjati (690 meter dpl). Kami bersebelas, aku, Ariv, Adit, Didik, Rinto, Hari dan 3 temannya ditambah 2 Ranger Laskar Alam Azis dan Budi. Di kiri kanan jalan terdapat pohon-pohon cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pohon-pohon durian (Durio sp) yang saling menyerobot genit memamerkan bunganya, terbayang kan kawan aromanya. Wangi khas bunga tumbuhan sejoli rokok kretek ordo Myrtaceae ini ditingkah legitnya bunga buah berduri ordo Malvales ditengah hawa sejuk pegunungan pagi hari. Ah, sungguh Ini melebihi aromatic spa yang biasa digembar-gemborkan orang kota. Tak kurang dari seorang ilmuwan alam abad 19 dari Inggris Alfred Russel Wallace –ah kau tahu khan- mengenal Indonesia sebagai sumber buah surga ini. Tak heran kaum penjajah gigih rebutan mengangkangi Indonesia seperti anak anjing menyusu induknya saja. Kemudian melewati ladang ubi, hijau, berbaris, berajur-lajur rapi. Aku tak yakin apakah petani-petani sederhana ini pernah belajar geometri lansekap, tapi nyatanya bisa menciptakan seni instalasi bak maestro. Setelah berjalan 16 menit sampailah di Pos kedua, Cibunar (750 meter dpl). Disini kami sempatkan mengambil air, karena ini adalah sumber air terakhir sepanjang jalur Linggarjati.

Perjalan kami lanjutkan, dengan menyiapkan mental baik-baik mengingat di shelter kedua saja napas sudah putus nyambung seperti lagunya BBB. Tak perlu lama kami berjalan, kami dapatkan penggugah semangat yang luar biasa –aku bertaruh melebihi Mario Teguh di TV- kami lihat dengan mata kami sendiri, sungguh tak sedang mabuk aku, sadar 100%, kulihat 2 orang nenek-nenek sedang berjalan membawa ranting-ranting untuk bahan bakar, mereka melangkah ringan saja seperti anak bajing. Aduh, kalau mereka bisa, kenapa kami tidak? Kunobatkanlah dua orang nenek ini sebagai Motivational Speaker terbaik, karena mereka tak sekedar bicara tetapi melakukan. Walk the Talk, begitu guruku menyebut orang-orang hebat jenis ini. Kondisi trek sisi kanan tebing dan kiri jurang dalam jadi perlu hati-hati. Akhirnya pukul 10.20 sampailah kami di Leuweng Datar (1.280 meter dpl). Populasi pohon masih didominasi pohon-pohon tinggi, sehingga Matahari tertutup canopy.

Condang Amis. Perjalanan ke Condang Amis masih cukup menanjak, kami mulai berpikir-pikir, kapan nih dapat bonus, begitu istilah pendaki untuk trek yang agak mendatar. Tak satupun, tak satupun kawan, akan kau dapatkan bonus di gunung ini. Nyonya Ciremai memang terkenal pelit memberi bonus kepada para pendakinya, dia tetap saja berdiri angkuh tak peduli. Sampai juga akhirnya di pos ini (1.350 meter dpl). Setelah sempat ambil foto kami teruskan perjalanan ke Kuburan Kuda.
Kuburan Kuda (1.580 meter dpl). Diberi nama Kuburan Kuda karena -kata legenda setempat- dulu Kuda-kuda Kumpeni mati ditempat ini setelah kelelahan mengejar para pejuang. Entah benar entah tidak yang jelas tak kutemukan satupun nisan atau tanda kuburan kuda. Sepanjang trek dari Kuburan Kuda ke Pengalap sangat terjal, perjalanan terasa lambat dan berat ditambah carrier yang beratnya minimal 12 kg. Tak jarang kami harus bergelayut dari akar ke akar sambil berpegangan pada batu yang terjangkau tangan. Nyeri terasa di ujung-ujung jari mengingat hawa dingin mulai menyelusup.

Pengalap (1.790 meter dpl). Pukul 15.20 kami tiba di Pengalap setelah megap-megap sepanjang trek, karena jalur yang dilalui sangat terjal semenjak Kuburan Kuda. Seringkali harus bergelayut dari akar ke akar mirip anak koala belajar berjalan. Kami membuka bekal berupa nasi putih dan gepuk. Wah, ini adalah restoran Kuring terhebat di dunia. Hanya Nasi Putih ditambah Gepuk Sapi bagian Shengkel, bagian agak berurat dekat kaki, sungguh legit rempahnya mengelus langit-langit mulutku. Kau tahu kan kawan, ketika kita lapar sekali dan capek banget, pas ada makanan masuk rongga mulutmu, kelenjar ptialinmu kontan menyemburkan liur tanda selera, sampai kaurasakan tiba-tiba daun telingamu mengecil dan matamu sedikit terpejam. Di sini banyak Lebah Hutan (Apis dorsata) mengerubungi kami, entah tubuh kami wangi atau bau aduhai karena keringat dari pagi mengucur tanpa kendali. Lebah Hutan ini bentuknya lebih besar dari lebah madu ternakan (Apis molifera) yang biasa kita konsumsi madu yang keluar dari mulutnya. Di Pengalap kami sempat tertidur, maklum semalam kami hanya bisa tidur-tidur ayam saja di bus selama perjalanan ke kuningan.

Tanjakan Binbin (1.920 meter dpl). Perjalanan kami teruskan. Trek semakin menanjak, menantang, meneror, seolah-olah tak habis-habisnya dia menertawakan kami –kecuali 2 Ranger tentunya- trek gila ini seperti menghardik:
”Pulanglah sana orang jelek, cuci kakimu dan minum susu! Sembunyilah di ketiak ibumu, jangan macam-macam disini dan jangan lupa seka belakang kupingmu, paham?!”
Demi mendengar teror trek ini, aku tulikan saja telingaku. Seumur-umur aku berusaha menjaga kesehatan telingaku sesuai nasihat nenekku, dengan membersihkannya dengan baby oil, tapi entah kenapa kali ini aku benar-benar bisa budheg. Akhirnya, Tanjakan Binbin, Here We’re Come!

Tanjakan Binbin merasa tak rela kaki-kaki kami melangkahinya, segera saja dia merengek pada kakaknya, Tanjakan Seruni, yang menghadang kami dengan bentakan khasnya :
”Dasar orang gila, masih nekat? Nih rasakan sendiri akibatnya!”
Kami terus merangsek maju, tak peduli kaki gemetar, hidung berair karena menahan dingin. Tak jarang aku tepat berada di atas kepala teman yang mendaki dibelakangku, karena trek sinting ini hampir 75 derajad kemiringannya di beberapa tempat, kalau tak hati-hati bisa salah injak.

Akhirnya sampai di Tanjakan Seruni (2.080 meter dpl) hari mulai gelap, segera saja kami siapkan senter. Anggota tim lainnya rata-rata membawa senter tangan, sementara aku sendiri memakai senter yang bisa diikat di topi. Maklumlah sesuai keadaan trek yang terjal, dengan memakai senter jenis ini, aku gak perlu repot-repot pegang senter sehingga tangan bisa konsentrasi memegang akar atau batu atau apapun yang bisa dipegang supaya tidak jatuh terperosok. Setelah istirahat sebentar trekking dilanjutkan menuju Bapa Tere.

Bapa Tere (2.200 meter dpl), dari namanya terbayang kalau dia tak sejahat ibu tiri, begitu setidaknya kesan yang kuterima dari film lawas Ibukota tak sekejam Ibu Tiri. Tapi begitu kami mendongak ke atas, astaga kemiringan trek di beberapa tempat hampir 85 derajad . Jika gunung Gede terkenal dengan Tanjakan Setan karena terjalnya, namun Bapa Tere ini bolehlah kusebut Tanjakan Setan Jahanam. Sudah terjal, panjang lagi. Demi melihat kami, Bapa Tere, merasa terusik, berteriak kasar:
” Hey, orang gila, masih saja nekat ke sini, bersihkan dulu hidung ingusanmu itu!”
Ah, ya aku memang gila dan aku tak peduli. Benar-benar kita menggantungkan pada akar-akar untuk bergerak ke atas. Untungnya kami lewati Tanjakan ini di malam hari, jadi tak terlalu kelihatan panjangnya. Kalau siang mungkin sudah shock duluan, mengingat kondisi tubuh mulai runtuh sehingga langkahpun terhenti setiap hitungan kesepuluh.

Lima belas menit dari Bapa Tere kami sudah desperate -tahu kan kawan- pengin-pengin banget, mendudukkan pantat kami, akhirnya kami putuskan ngecamp. Setelah memasang tenda, sudah pukul 20.05 langsung nggelosor tidur. Malam serasa dingin, tiupan angin menambah tajam sengatnya. Beruntung kubawa sleeping bag merk lawas Alpina, walau tampak ketinggalan jaman dibanding model terkini yang lebih kecil ukurannya, tapi hangatnya tak kurang dari kantong perut ibu Kanguru. Walau semalaman hanya tidur-tidur ayam saja, tapi pagi hari badan serasa lebih segar, siap ke shelter-shelter di atasnya. Minggu pagi pukul 08.00 setelah sempat sarapan Mie Instan rasa Empal Genthong, kubisikan, Nyonya Ciremai, ijinkan aku mencapai puncakmu. Kamipun berangkat menuju Batu Lingga.

Batu Lingga (2.400 meter dpl). Konon tempat ini dulunya ada batu besar datar yang bisa diduduki. Batu ya batu, Lingga artinya duduk. Kata orang ini tempat Sunan Gunung Jati duduk. Entah benar atau tidak, tapi disini tak kutemukan batu datar itu, kata orang batunya sudah hilang. Sepanjang trek kiri kanan terdapat perdu hutan yang cukup rapat sehingga sering betis kami terbesot.

Sangga Buana Bawah (2.545 meter dpl). Kami pikir Sangga Buana ada Satu, begitu sampai disini, ah puncak sedikit lagi, tapi ternyata kami harus lewati dulu Sangga Buana Atas.

Sanggabuana Atas (2.665 meter dpl). Ternyata betul hikayat yang diceritakan orang-orang bahwa mendaki Ciremai sering diikuti oleh burung hitam. Ketika menuju Sanggabuana Atas, aku bertemu burung hitam ini, aku gak tahu burung apa ini, tapi setelah kucocokkan dengan Panduan Lapangan Burung-burung Sunda Besar karya John MacKinnon dkk ternyata adalah Anis Gunung (Turdus poliocephalus) dikatakan bahwa burung ini hidup di gunung-gunung di atas 2.000 meter dpl memakan buah-buah kecil dan invertebrata di tanah dan semak namun kadang-kadang keluar di tempat terbuka.

Pengasinan (2.860 meter dpl). Perjalanan kami teruskan. Batu, batu dan batu, begitulah kondisi trek menuju Pengasinan. Sesekali kaki kami tergelincir karena licin, lutut kirikupun lebam dan luka karena alih-alih melangkah ternyata malah membentur batu granit sialan di sebelah kiri. Tapi sudah kepalang tanggung. Entah tenaga apa yang mendorongku, apakah ini semangat atau putus asa, aku sudah tak bisa bedakan lagi, kau tahu khan kawan orang yang sudah mentok, terkadang mendapat energi tak terduga untuk maju. Bolehlah ini kusebut semacam Mentok Complex, semacam hantu deadline. Trek menuju Pengasinan dapat kami lalui dengan susah payah. Ternyata Pengasinan terdapat dataran yang cukup luas. Memang rencana semula kami ngecamp di Pengasinan, tapi apa daya baru sampai di bawah Batulingga saja sudah gelap jadi kami ngecamp di sana. Kami sempatkan istirahat di shelter ini. Kini awan sudah berada di bawah kami. Sungguh kawan, ini zona yang berbeda, tumbuhan yang ada juga berbeda, tapi ada satu hewan yang juga ada di daerah rendah yang masih juga muncul disini yaitu tamu terbang berkaki kotor pembawa bakteri salmonella tippy, lalat.

Puncak. Sebenarnya puncak Ciremai sudah terlihat jelas dari Pengasinan, karena tumbuhan yang ada cenderung pendek sehingga pandangan dapat terlihat. Sekilas kami melihat ke belakang, luar biasa indahnya, terlihat Kota Cirebon dari atas. Begitu kami injakkan kaki menuju tanjakan berikutnya setelah Pengasinan, tak berhenti aku dirundung takjub. Mulutku menganga terkagum-kagum. Bayangkan di kiri kananmu dipenuhi Bunga Abadi Edelweis (Anaphalis javanicus). Bunga dari Kahyangan, bunga para Dewa. Memang bulan ini sudah lewat masa-masa berbunganya tapi sisa-sisa keelokannya masih terpancar, sehingga terbayang cantiknya di waktu mudanya. Seperti Nyonya yang 9 tahun lalu menjadi None Jakarte, masih terlihat jelas kini sisa-sisa kecantikannya. Jadi kuingat majalah pertanian Trubus waktu SD dulu. Edelweis ini –pakai satu S- sejatinya berbeda dengan Edelweiss Alpen –pakai dua S- yang dinyanyikan keluarga Von Trapp ketika pura-pura ikut Festival di film Sound Of Music – ah kau sudah tahu khan-. Kalau Edelweis batangnya berkambium, sedangkan Edelweiss (Leontopodium alpinum) tidak berkambium, pohonnya lebih pendek. Edelweiss, edelweiss, every morning you greet me, small and white, pure and bright….

Akhirnya setelah berjalan terseok-seok, terpeleset, merangkak mendaki, megap-megap seperti ikan koki keluar akuarium selama lebih dari 16 jam –nah akhirnya kau paham khan arti penyakit sinting Lombrosso?- Minggu pukul 13.12 sampailah di Altar Suci Puncak Ciremai. Rasa lelah, pegal seketika buyar. Inilah kawan puncak tertinggi di tanah Sunda, tak kurang dari 3.078 meter dpl tingginya. Semenjak Pengasinan awan telah menutupi pandangan kearah utara sehingga laut jawa tak terlihat. Tapi entah kenapa, tiba-tiba sesampai kami di Puncak, seketika awan tersibak, seolah tahu hasrat kami ingin melihat laut jawa dari atas sini. Aku bersorak, takjub, ah kawan, sungguh indah pemandangan di atas sini. Lamat-lamat laut jawa terlihat seperti busur raksasa melintang horizontal di depan mata kami. Di sebelah kiri dan kanan terdapat awan cumulus yang digandeng ekornya oleh lengan stratus seolah membentuk bingkai dengan dasar warna langit biru. Ah, sungguh lukisan maestro tiada tanding.

Pendakian Ciremai ini adalah dalam rangka hari Keuangan yang ke-63. Di ketinggian 3.078 meter dpl ini, kami rayakan hari Keuangan dengan memakai Baju Batik, baju pusaka aseli hasil seni aduluhung leluhur. Aku sendiri memakai Batik motif campur, ada Parang, Ceplok, Garuda. Sekedar perlambang saja kawan, motif-motif ini aseli bikinan Indonesia. Sekaligus mengucap syukur atas diakuinya Batik sebagai one of the World Heritage aseli dari Indonesia oleh Badan Kebudayaan yang bukan main UNESCO pada 2 Oktober yang lalu.


Sambil kukibarkan Merah Putih yang sedari Pengasinan membebat leherku, sayup-sayup kudengar rekaman pidato Bung Hatta 29 Oktober 1946 yang waktu itu disiarkan RRI Yogyakarta bahwa:
“Moelai besok kita akan belandja dengan oeang kita sendiri, moelai besok kita akan pakai oeang kita sendiri. Oeang asing tidak berlakoe disini, apalagi oeang jang dikeloearken pemerintah yang pernah mendjadjah kita”.

Mata uang kawan, adalah salah satu tanda kedaulatan, begitulah menurut Bapak berkacamata minus yang ahli Koperasi ini. Menurut guru SDku, Bapak ini adalah salah satu orang paling pintar yang pernah dimiliki negeri ini.

Ya, kawan, disinilah kurasakan hari keuangan yang paling mengharukan. SELAMAT HARI KEUANGAN!




END of PART 1
Kisah selanjutnya :

Akhirnya kami sadari persediaan air tinggal 2 botol…., sementara perjalanan turun setidaknya memerlukan waktu 9 jam, entah ini kebetulan atau tidak, kami menemukan kondisi kami kekurangan air, tepat di area nisan seorang pendaki –Nurdiyanto- yang meninggal di area Goa Walet. …

Komentar

Postingan Populer