MEMETIK EKOR AWAN DI ALTAR SUCI CIREMAI
PART 2
By Tunggulwulung


Manis belaka kawan, euforia di puncak Ciremai, manis tak terkira. Di ketinggian seperti ini, kau menghirup jenis udara yang berbeda dari udara kota berpolusi yang puluhan tahun menjejali paru-parumu. Juga kau lihat jenis satwa dan tumbuhan yang berbeda dan lagi bunyi-bunyian yang berbeda. Apakah ini tempat para dewa? 

Kawah Ciremai
Di sini, di puncak Ciremai, entah kenapa mendadak rasa nasinalismeku membuncah sampai ubun-ubun. Dulu waktu masih sekolah -kau ingat kan jaman orde baru- aku hampir selalu acuh saja jika Komandan Upacara meneriakkan hormat bendera dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Namun, disini, di puncak Ciremai, ketika kudengar grup pendaki lain merayakan keberhasilan mencapai puncak dengan menyanyikan Indonesia Raya, tiba-tiba kurasakan, sungguh heroik dan anggun lagu ini.
Kembali kuingat petuah guru IPS waktu SD dulu, ini bukan lagu sembarang. Diciptakan WR Supratman waktu masih 21 tahun. Dengan Biola diperdengarkannya dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Bayangkan anak semuda ini bisa mencipta karya adiluhung. Ah, entah kebetulan atau tidak, sekarang ini juga bulan Oktober.


Lamat-lamat kuikuti mereka menyanyikan lagu ini. Anggun, menghentak, mengerang. Tak kalah garangnya dengan entakan dawai Stratocaster van Halen, tapi juga tak kurang anggunnya dengan liukan Sonata No 5 van Beethoven. Maka kulafalkan syair-syair lagu keramat ini sesuai ajaran guruku:

"Indonesia, tanah airkoe,

Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.
Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
……"


Namun kulupa, madu, kawan, dihasilkan hewan gendut berbokong tajam ini, lebah (Apis Melifera). Setelah kau nikmati legitnya, bersiaplah sengatnya yang ganas. Setelah melepas baju batik, segera kami cari jalan turun. Kami putuskan lewat jalur Palutungan, mengingat jalur ini -kata internet- agak landai sehingga kami berharap beban yang menumpu lutut dapat dikurangi.

Kami berjalan menyusuri punggungan bibir kawah, di sisi kanan batu terjal, di sisi kiri aneka perdu lebat, tak jarang betis kiri terbesot ranting tak tahu diri ini. Setelah itu kami harus melewati punggungan di daerah terbuka, di kanan jurang kawah, mulut besarnya menganga mengeluarkan asap putih bau sangit seperti suku Indian Sioux menghembuskan asap cerutu, di kiri juga jurang. Angin meniup kencang dari sebelah kanan. Tak jarang kami harus menghentikan langkah dan pasang kuda-kuda dengan sedikit menunduk, mengingat angin cukup kencang. Kalau tak hati-hati, angin sialan ini dapat menjungkalkanmu. Kau tahu khan, lutut sudah mulai goyah sejak Pengasinan tadi.

Setelah mengitari punggungan kawah hampir separuhnya, akhirnya kami menemukan titik turun menuju jalur Palutungan. Jam sudah menunjukkan pukul 15.17. Angin dingin pasti segera datang. Kami susuri jalan -sebenarnya lebih mirip bongkahan batu berserakan- menurun ini. Alih-alih berharap jalan landai seperti kata internet sialan itu, yang kami temui sebenarnya hanyalah jalan menurun terjal berbatu. Tak jarang harus ngesot seperti mbok jamu melengserkan gendongannya.

Namun kami harus tetap turun. Setelah terseok-seok sambil menahan beban di lutut akhirnya sampai di komplek Goha Walet (2.925 meter dpl). Kupikir tadinya ini seperti shelter-shelter sebelumnya yang selalu ada daerah datarannya. Tak bakal kautemukan surga seperti itu di sini kawan.

Akhirnya kami tersadar bahwa kami kekurangan air. Persediaan tinggal 1 1/2 botol aqua besar, dan kami bersebelas. Sementara sumber air terdekat membutuhkan waktu 9 jam berjalan (Shelter Cigowong). Beberapa anggota tim sudah mulai dehidrasi.

Entah ini kebetulan atau tidak, kami menyadari kalau kami kekurangan air tepat di area pusara seorang pendaki yang tewas di dekat Goha Walet ini -Nurdiyanto namanya- sedikit tegang kulihat Ranger setia kami, Azis dan Budi. Apalagi wajahku sendiri, aku yang aseli turunan kulit coklat ini, mendadak seputih mori.

Kulihat lekat-lekat pusara itu, dari batu marmer dibuat, sudah ada lumut di sela-sela pahatannya. Kuamati lagi, semakin mendekat dan tiba-tiba dia berkata:

”Jangan sampai kekurangan air, apakah kau ingin mati kering seperti ikan asin?”


Hah, aku tersentak. Dua tiga langkah aku terpapar mundur.


Akhirnya diputuskan kita turun ke cerukan raksasa yang bernama Goha Walet ini, berharap dapat air. Aku, Rinto, Eko, Abay dan 2 Ranger turun ke cerukan, sementara anggota lain menunggu di atas. Goha Walet kadang-kadang ada air namun kadang tidak. Suasana semakin tegang. Kami pikir yang namanya sumber air, ya airnya mengalir dengan deras. Hal terakhir yang kami harapkan adalah menampung air tetes demi tetes, dan itulah yang kami dapatkan.

Goha Walet ini memang meneteskan air dari tebingnya, tetes demi tetes kami tampung. Sebenarnya jika beruntung di dasar Goha ada air, namun kami hanya mendapati tanah kering berpasir. Kuingat data ahli nujum hujan BMKG, Oktober ini memang baru awal musim hujan. Di cerukan goha Walet ini ada tulisan, Air=Kehidupan, Tanpa air = gambar tengkorak. Ah!

Sungguh beruntung ada pendaki sebelum kami yang meletakkan tampungan sehingga airnya dapat diambil, total hanya dapat 2 botol aqua besar. Sebelum naik, tak lupa, kami letakkan pula tampungan, supaya tetes yang terkumpul dapat dipakai pendaki berikutnya.

Kami naik lagi dari cerukan Goha Walet yang terjal ini, air kami bagi-bagi. Aku sendiri kebagian 1 botol 250 ml, dan itu harus cukup untuk perjalanan penuh keringat 9 jam mendatang (itu hitungan kami). Sampai di sini kau harus melakukan segala sesuatu sebatas yang diijinkan persediaan airmu. Di sini, di Goha Walet, segera saja kurapalkan tujuh kali doa pengusir sial yang diajarkan ibuku.

Kami terus turun. Tak lupa sebelumnya mengenakan sarung tangan dan jaket, mengingat angin dingin mulai membisikkan sihirnya. Sebenarnya tak soal jika suhu agak dingin, yang jadi masalah adalah jika suhu dingin itu ditambahi oleh gerak angin. Tulang punggungmu akan gemetar, ujung-ujung jarimu akan kebas, bahkan untuk membuka retsleting celanamu sendiri kau tak mampu. Sela-sela kukumu terasa sakit.
Trek masih didominasi batu dan pasir, terkadang kami terpeleset karena menginjak pasir yang labil.


Akhirnya sampai di Plang Pertigaan (2.700 meter dpl). Arah kanan menuju Apuy 6,9 km di daerah Maja, arah kiri menuju Palutungan 8,4 km. Kami ambil ke kiri. Sambil berharap menemukan jalan landai yang tak kunjung datang, trek masih saja curam, sambil jalan terhuyung dan tergopoh-gopoh, kami menuju Sanghyang Ropoh (2.590 meter dpl).

Pukul 18.18 Hari benar-benar sudah gelap, kami berpikir kemungkinan ini sudah hampir sampai shelter Pesanggrahan (2.450 meter dpl). Persediaan air semakin menipis. Kucoba menyalakan Ponsel kalau-kalau ada sinyal. Anggota lain juga menyalakan Ponsel, namun tak ada sinyal. Beruntung, sungguh beruntung ponselku ada Sinyal. Kukabarkan via SMS pada tim Ranger yang ada di Pos terbawah. Kuketik sambil gemetaran huruf-huruf ini:

“Kita mau turun via Palutungan, sekarang sdh di Pesanggrahan dan air tinggal 2 botol”.

Kami terus berjalan, dan pukul 19.01 kuterima SMS dari Tim Ranger di bawah:

“Sudah sampe mana?”

Kujawab :

”Asoy”.


Ya inilah tanjakan (sekarang jadi turunan) yang kami segani “Tanjakan Asoy” (2.108 meter dpl). Di kiri kanan akar malang melintang tak karuan. Seperti sengaja hendak menjegal kaki. Tak jarang kaki tersandung dan beberapa terjatuh. Kami tahu lutut sudah sedari tadi luluh. Pukul 19.06 kuterima SMS lagi dari Tim di bawah :

“Ok tinggal 4 shelter lagi, Arban, Paguyangan Badak, Kuta, Cigowong dan Palutungan. Di Cigowong banyak air”.

Ah Tuhan terimakasih, kau beri Tim kerjasama yang baik.


Sebenarnya dari pos Pertigaan, ada satu anggota tim yang sakit. Pusing ditambah mau muntah, tapi tak keluar. Kau tahu kan rasanya. Sampai Arban (2.030 meter dpl), anggota yang sakit ini sudah tak tahan, setiap kita istirahat, dia rebah. Akhirnya kuputuskan memberi obat pereda rasa sakit. Tertulis pada label obat itu Paracetamol 500mg, di dalam gelap kucoba membaca apakah menyebabkan rasa kantuk, ternyata tak tertulis huruf itu di situ, ah layaknya dokter aja aku ini.
Kubilang sama teman tadi :

“Ayo, kita mesti terus jalan lagi, kurang 3 shelter lagi, kita harus secepatnya sampai di sumber air.”

Dia bergumam :


”Pusing, pusing banget”.

Kujawab :

”Mungkin dengan bergerak, obat ini lebih cepat bereaksi sesuai aliran darah.”

Sejurus kemudian, dalam hati aku berkata :

”Halah teori macam mana lagi ini yang kukothbahkan, bahkan anak semester pertama SLBpun akan tertawa demi mendengar teori ini. Tapi apa lacur, kami harus segera sampai di sumber air”.


Akhirnya kami kembali berjalan berurutan, mengingat trek gelap, dan menghindari terpisah, dimulai Azis, kemudian Rizki, Eko, Adit, Didik, Rinto, Ariv, Hari, aku, Abay, Budi. Benar-benar seperti tentara kompeni kehilangan komandan.

Sebenarnya mudah bagi kami untuk menyerah dan mendirikan tenda di sini, dan melanjutkan perjalanan besok pagi, namun itu sangat berisiko, mengingat air sudah hampir habis. Saat seperti ini tidak ada yang lebih baik daripada tetap berpikir positif, akhirnya kuputuskan saja jalan sambil nyanyi. Samar-samar kuingat lagu D’Masiv yang biasa dinyanyikan anakku :

“Jangan menyerah…jangan menyerah…”


begitulah sedikit dari syairnya yang kuingat. Seperti ada dorongan semangat baru. Walau kutahu kaki sudah tak bisa kompromi lagi, nyatanya seringlah kami terpeleset dan jatuh, kontrol kaki sudah melemah.

Jangan menyerah…jangan menyerah…, ah sungguh hebat dua kata ini. Kuingat guru Sejarah dulu mengatakan, kalimah sakti Jangan menyerah inilah yang dikatakan Winston Churchill kepada sekelompok wisudawan ketika Inggris diserang pasukan Blitz Krieg NAZI. Sementara lebih tigaperempat Eropa sudah bertekuk lutut kepada Jerman. Dua kata inilah yang menyelamatkan semangat Inggris, terbukti tak satupun pesawat Jerman berhasil menjejakkan kakinya di negeri asal Golf ini.

Paguyangan Badak ( 1.790 meter dpl). Mata mulai meredup, napas sudah megap-megap dari tadi, pundak lecet dan terasa perih menahan beban carier, leher sakit bila menengok ke kiri, Antara sadar dan tak sadar, mulailah terdengar suara-suara asing di telingaku. Kukernyitkan dahi untuk memperjelas suara-suara itu. Lamat-lamat kudengarkan, sebenarnya suara-suara itu mirip suaraku sendiri tapi kali ini dengan nada menyesal :

”Hey, cari apa kau disini? Benar kan, setengah sinting kau ini, kan lebih enak pagi buta begini tidur di kasur hangat! Apa yang kau cari gentayangan di tengah hutan gila ini!”.

Kugeleng-gelengkankan kepala untuk mengusir suara itu. Alih-alih menghilang, kini suara itu menjadi marah :

“Sudah kubilang kemarin, ngapain naik gunung, seperti kurang kerjaan saja.”

Pohon besar dibelakang kiri yang sedari tadi diam, tiba-tiba membeo :

”Cobalah kautengok dirimu! Apa ada turunan konyol dari para leluhurmu! Mengacau saja!”


Jurang dingin di sebelah kiri yang sedari tadi angkuh, mulai sok tahu :


”Ingatlah pesan kakekmu, hiduplah sesuai Janji Siswa waktu SD! Jangan kau bikin malu keluarga dengan tingkah konyolmu ini!”



Limbung. Aku limbung demi mendengar dengung suara itu sangat jelas di telinga. Diriku sendiri, ya sebenarnya diriku sendirilah suara-suara itu.


Srettt!...Bruggg! Maksud hati menghindar bongkahan batu dekat kaki kanan, malah tersangkut akar sialan di sebelah kiri. Aku terjatuh. Ah, inikah batas akhir? Kelu, kelu lidahku.

Pisang, ah akhirnya ketemu beberapa pohon Pisang (Musa spp). Ini pertanda bagus kawan. Kembali kuingat kothbah pelajaran yang kubenci sewaktu SMA, Biologi. Masih terngiang di telingaku dalam pelajaran Taksonomi dikatakan bahwa pohon berbuah lezat dari ordo Zingiberales karib lutung ini tumbuh baik sampai ketinggian 1.700 meter dpl. Artinya kami seharusnya hampir sampai di shelter Kuta (1.690 meter dpl). Artinya kami tak lebih dari satu shelter lagi menuju sumber air. Ah kawan, sungguh, baru sekarang inilah kusyukuri sempat diajar guruku sebuah pelajaran yang ternyata sangat berguna, Biologi. Haru. Tak malu aku disini mengharap maaf pada guruku.

Perjalanan terasa sangat lama. Kami berjalan sambil membisu, konsentrasi pada kaki yang diterangi nyala senter. Di tengah kesunyian tiba-tiba Ranger Budi berteriak dengan logat Cirebonnya :

”Zis, suara air? Aya, cai?”


Demi mendengar benda berharga ini disebut, telinga kupasang lebih cermat. Benar, samar-samar kami dengar suara gemericik seperti pancuran. Tak membuang waktu kami percepat langkah.

Benar saja, suara air makin keras terdengar, merdu, merdu sekali suara gemericik air ini. Kutahu, itu hanya suara air, tetapi saat seperti ini, ketika kau kehabisan minum hampir 11 jam, ditambah tubuhmu berkeringat terus karena berjalan selama itu, dan bibirmu mulai pecah-pecah, kerongkonganmu perih dan didepan sana ada air, tubuhmu sekering handuk yang diperas mesin cuci, maka ada semacam suara gadis memelas kepada bintang film pujaannya merintih dalam kerongkonganmu : “Air….! Air….!”.


Di depan mata kami, kali kecil mengalirkan air pegunungan perawan. Sungguh elok bunyi air menabuh batu-batuan seperti perkusi Jamaika, menghanyutkan daun-daun yang saling bergesekan seperti dawai Stradivarius , ah gemericiknya tak kurang empuknya dari suara serak pelantun "Anggur Merah" kesenangan bapakku, bang Meggy Z.

Akhirnya Senin pukul 03.15 kami sampai di Cigowong Girang (1.450 meter dpl), satu-satunya sumber air di Jalur Palutungan. Seperti Gajah, kami minum langsung dari sumber air. Tak kurang dari 3 botol kecil aqua air gunung ini tandas dikerongkonganku. Lega sudah, air adalah kehidupan. Tak sembarang, penduduk menamakan shelter ini Cigowong Girang, karena senang bertemu dengan benda yang disusun 2 atom Hidrogen yang memeluk 1 atom Oksigen ini.

Palutungan sebenarnya sudah di depan mata. Dari sini dapat kulihat jelas kelap-kelip lampu rumah penduduk. Namun ternyata itu hanya ilusi mata, perjuangan belum selesai. Demi ingin bertemu peradaban, kami teruskan berjalan.

Trek yang dilalui ternyata adalah bekas jalan air, berbentuk panjang lurus mirip got dengan dasar hampir segitiga. Sehingga hanya cukup untuk satu telapak kaki. Sementara di kiri kanan perdu lebat seolah berusaha menahan lajumu. Tak jarang kami harus zig-zag.

Trek gila bekas kali ini ternyata sangat panjang, jam sudah menunjukkan pukul 03.55 ketika kami temui dataran dan diputuskan istirahat sebentar. Namun tak kuasa kami menahan kelopak mata, seperti ada setan kecil main ayunan di situ. Setidaknya sudah hampir 19 jam sepanjang pagi sampai malam kami berjalan. Kamipun tertidur di antara pohon-pohon pinus (Pinus Merkusii). Dengan rebahan beralaskan tanah, sebenarnya sangat elok pemandangan langit malam dapat kau lihat diantara sela-sela daun Pinus yang ramping, lagi berayun-ayun.

Pagi buta itu bulan masih benderang, diantara ranting Pinus kau lihat sinar bulan menembus sela-selanya, membentuk tiang-tiang cahaya samar-samar, dan lagi bermilyar bintang membentuk konfigurasi abstrak maha indah di atas sana. Ada rasi Biduk, ada Scorpio. Aku, pengidap gegar seni -yang bahkan tak mampu membedakan Picasso dengan kecelakaan mobil- seperti tertenung dibuatnya.

Tak kuasa menahan bengisnya taring angin pagi yang dingin, akhirnya kami terbangun. Dengan bantuan lampu senter, kudapati tumit kakiku pecah-pecah, perih diujung-ujungnya. Tapi kami harus berjalan lagi. Masih saja, trek bekas kali sinting ini yang harus kami lalui. Panjang, panjang sekali.


Sudah hampir pukul 05.00 ketika kulihat hamparan Kembang Kol (Brassica Oleracea) hijau, tersusun rapi. Berlajur-lajur, daunnya tegak, melindungi bunganya yang siap muncul. Tak tahu aku darimana petani-petani itu belajar aliran kubisme. Daun kembang kol di ujung sana seperti melambai-lambai padaku, kuhampiri, kupandang lekat, dan dia berbisik tanpa perasaan :

“Makanya, banyaklah makan kembang kol, supaya nutrisinya membantu otakmu berpikir benar. Camkan itu!”


Ah, leganya bertemu peradaban. Kami berjalan sudah sangat lambat, seperti balita baru bisa jalan, mengingat kaki sudah berkali-kali kram sesering pasien diare ke toilet dan tumit pecah di sana sini.
Akhirnya, Senin 26 Oktober 2009 pukul 07.21 kukabarkan pada Tim Ranger bahwa kami sudah sampai di Shelter terakhir Palutungan (1.000 meter dpl). Di sini kusematkan emblem Taman Nasional Gunung Ciremai di baju lengan kiriku dengan bangga. Gagah, dingin, misterius dengan Macan Ali terbordir di bagian kiri.

Bila hidup dapat diumpamakan sebagai jalan paving blok, maka setiap paving blok itulah pengalaman. Kadang paving blok tersusun tanpa aturan, dan berasal dari tempat-tempat yang bahkan kau sendiri tak menyangka, pontang panting, blingsatan kesana kemari, tergopoh-gopoh, namun bila tersambung satu sama lain, akhirnya membentuk sebuah jalan jua.

Kini, di bawah kibasan Rok Nyi Ciremai yang angkuh, kudapati satu lagi paving blok yang menyusun hidupku. Semoga hidupmu juga kawan.


THE END


Terimakasih telah membaca
Salam,
Tunggulwulung





Saya ucapkan terimakasih untuk seluruh tim:


Hey gank,
You were all made it happen!
Tanks guys
You should go to the other summit too,
I’ll bet you do!

Komentar

Postingan Populer