GUNUNG CIKURAY NEGERI PARA BIDADARI

By Tunggulwulung

Camellia sinensis, itulah nama indah yang diberikan oleh dedengkot taksonomi Carl Linnaeus kepada tumbuhan berdaun hijau harum yang biasa kau seduh sore hari, teh, cantik  nan lentik. Camellia dilatinkan dari nama botanikus dan pastor asal Czech Georg Kamel yang menjadi pelindung kaum papa di Pilipina, sinensis dilatinkan dari China, jadi artinya kurang lebih tumbuhan berdaun hijau, pelindung, harum, berasal dari negeri tirai bambu.

Dayeuh Manggung Tea Garden
 Namun nama indah tak selalu sesuai kenyataannya. Setidaknya inilah yang kualami dengan si Camellia ini.  Tanpa perasaan dia telah memerangkapku. Nanti akan kuceritakan padamu.

****


       
Sang dukun hujan, BMKG, berulangkali memperingatkan dalam situsnya bahwa selama April ini akan terjadi hujan lebat disertai angin untuk jawa bagian barat. Menurut peta buatan manapun, Cikuray pasti diletakkan di daerah ini. Dan tersiar kabar tak sedap, Desember tahun lalu ada pendaki hilang yang hingga kini juga tak kunjung jelas keberadaanya. Namun, setelah suatu pagi, Hermes, dewa pelindung kaum pengelana, mengibas terompah bersayapnya padaku, akhirnya kuputuskan tetap mendaki.





Omong-omong soal ketinggian, Cikuray (2.821 mdpl) hanya menduduki peringkat keempat gunung tertinggi di negeri Dyah Pitaloka ini. Setelah si sulung Ciremai, Pangrango dan tentunya Gede. Namun soal tanjakan, hm, jangan coba-coba kau remehkan. Bentuknya yang mirip saudara tuanya Ciremai, tetap menawarkan tanjakan aduhai -seberat menjilat lutut istilahnya-, karena bentuknya mirip kerucut raksasa. Kaki kekarnya menggelosor ke kiri-kanan tak peduli. Dan satu lagi, di sini tak ada sumber air.

Jumat 16 April 2010 tim berkumpul di terminal Kampung Rambutan pukul 23.00 WIB. Rinto, Ari, Arif , Ariv dan aku langsung pules di dalam bis. Saat jam pergantian hari inilah -yang adalah waktu favorit bagi kaum lelembut gentayangan- bus meluncur menuju Garut via tol Padalarang. Pukul 04.00 WIB Bus memasuki terminal Guntur, Garut, kami terbangun, untunglah kami turun bus  saat kaum lelembut pulang demi mendengar kokok ayam jago.

Setelah nego kiri-kanan dengan angkot liar, akhirnya ketemu kata sepakat Rp220.000 kami berlima diangkut menuju stasiun pemancar TVRI di kecamatan Cilawu. Tak tahu aku barusan buat mengangkut apa saja angkot ini, pengap dan tengik, tetapi peduli amat, kami ngantuk, dan tertidur lagi. Tak tahu sudah berapa jam angkot melaju, akhirnya terbangun ketika gardan angkot nyangkut di gundukan karena bannya masuk jalan yang mirip parit. Akhirnya terpaksa jalan kaki menuju pemancar menyusuri jalan ditengah-tengah kebun teh. Matahari sudah muncul ketika kami memasuki area Pemancar (1.450 mdpl). Langsung buka nasi bungkus yang dibeli di terminal tadi. Nasi putih anget, ikan sepat asin, tahu dan sambal terasi, aduh, sebagian surga turun ke bumi.

            Pukul 07.20 WIB segera menuju jalur pendakian, dimulai dengan menerabas kebun teh milik PTPN Dayeuhmanggung. Setelah lulus tanjakan kebun teh, kami dimanjakan olah aroma khas legit Akar Wangi (Vetiveria zizanoides). Kata petani setempat, Akar Wangi nantinya akan diproses menjadi minyak atsiri untuk bahan parfum yang bakal dipakai oleh sosok-sosok tirus semampai –kurang gizi tepatnya- yang melenggak-lenggok gemulai di atas catwalk di Paris sana. Tak perlulah kau repot-repot ke Paris, di sini, di Kabupaten Garut nan paling udik, bau wangi itu melimpah ruah dari sumbernya.

Kemudian masuk kerasak ilalang (Imperata cylindrica), daun semampainya miring-miring ditiup angin, melambai-lambai lembut penuh racun tipuan. Oma-oma yang dulu sempat sekolah Belanda, menyebutnya Snijgrass lantaran tajam daunnya dan jika kurang awas kakimu bisa terbesot, perih. Snij- kurang lebih berarti memotong atau mengerat. Grass artinya rumput. Nah akhirnya memasuki pintu hutan.
  
Setelah melewati pintu hutan kurang lebih 2 jam, di sebelah kanan terdapat lembah yang diapit oleh bukit di sebelah kanannya lagi, terlihat pemandangan yang aduhai, hijau terang berselang-seling dengan hijau gelap, tumpang tindih, karena posisimu lebih tinggi dari lembah di seberang, kau dapat melihat pucuk-pucuk pohon hutan. Mungkin inilah pemandangan yang biasa dilihat oleh penguasa angkasa. Dan benar, tampak melayang anggun di sana Alap-alap Sapi (Falco muloccensis).

Cikuray minim shelter dan penunjuk arah, hanya beberapa plang yang sudah tak jelas apa hurufnya ataupun kalau hurufnya jelas, plangnya tertekuk. Dan menurut kabar, Desember lalu ada sahabat alam yang hilang-Reni namanya-sampai saat ini belum ditemukan. Untuk mengurangi risiko tersasar, sedapat mungkin kami pasang tali raffia pada ranting, atau apapun bila kami ragu mengambil percabangan kiri atau kanan. Supaya bila salah jalur, kami dapat menusuri trek bertali raffia ini.

Jam 12.00 kami sampai entah dimana, perut kuli mulai memanggil. Buka kompor dan masak mie instan, aduh enak. Demi mencium bau mie instan, dua atau tiga Tawon Gong (Seeliphoron mandrastatus) bersliweran mendekat, tambun dan berdengung. Treking dilanjutkan, akhirnya kami sampai pada batu besar dengan coretan penanda arah dan untungnya ada marker dari Tim SAR yang tertulis posisi 2.330 mdpl. Artinya sudah duapertiga jalan.

Trek menanjak didominasi bekas jalur air dengan akar malang melintang, sesekali pohon besar yang roboh entah berapa tahun yang lalu, menghalangi jalan sesuka hatinya. Besar dan ditumbuhi lumut, dingin, kaku dan licin. Itupun ditambah tas Cariel sialan yang nongkrong dengan cara yang paling tak sopan di pundakmu yang rata-rata membawa 14-18 kg perbekalan.

Pukul 13.30 sampai di puncak bayangan, ada juga yang menyebut puncak bohong. Di sinilah -menurut berita- Reni hilang. Konon dia ditinggal temannya untuk mencari air, namun setelah teman-temannya kembali, Reni sudah tidak ada lagi.  Sampai kini, tak kunjung jelas kabar tentang keberadaannya. Sesekali terdengar gaok parau Gagak Hutan (Corvus enca). Kutemui keanehan pertama di puncak bayangan, Gagak ini jarang berada di ketinggian di atas 1.000 mdpl, setidaknya itulah kata John Mac Kinnon dalam Bukunya Seri Panduan LIPI. Bergidik, aku teringat syair lagu pemakaman, Amazing Grace.

Yea, when this flesh and heart shall fail,
And mortal life shall cease,
I shall possess within the veil,
A life of joy and peace.

Dua tiga kali terdengar bunyi Guntur, kulihat ke langit, mungkin akan turun hujan. Kabut juga terlihat mulai menyelinap melalui sela-sela dahan. Seperti tangan-tangan berjari panjang samar-samar putih menjangkau-jangkau. Seperti jari-jari dewa kematian Hades masuk sumur neraka di film Hercules. Segera kusiapkan lampu senter, berjaga kalau-kalau penglihatan terhalang.

Bergegas kami menuju Puncak Sejati. Vegetasi masih didominasi oleh pohon-pohon tinggi, dan ditumbuhi epifit di batang-batangnya. Sehingga seperti sosok jangkung berjenggot. Beberapa pohon ada yang meranggas, mungkin tersambar petir. Trek menuju Puncak banyak batunya, jadi hati-hati karena licin oleh lumut. Setelah 2 jam merangkak, akhirnya sampai di Puncak Cikuray. Berarti total 8 jam sudah kami berjalan menanjak dari pemancar tadi pagi.


Pucuk Ciremai di timur laut
Demi melihat lukisan maha agung di puncak, rasa pegal seketika buyar, rasa ngap seketika lenyap. Dan jika kau adalah penggemar Monet -aku minta maaf padamu kawan- di sinilah, di puncak Cikuray, sejatinya akan kau lihat lukisan maha indah sang raja impresionis tiada banding.

Di sebelah barat daya, terlihat pucuk gunung Papandayan, hitam bercak putih, dingin, memamerkan julur-julur urat kasarnya, sementara agak ke bawah awan cumulus membentuk permadani kapas maha lebar, putih, bergulung, empuk. Baru kusadari, kini aku berada di atas awan.

Agak samar-samar, arah timur laut terlihat segitiga abu-abu,  misterius, itulah puncak kerucut si angkuh Ciremai, masih jelas terngiang pengkhianatannya padaku Oktober tahun lalu. Awan menutupi sehingga hanya bagian puncaknya saja yang terlihat, seolah tak mengijinkanku melihat bagian bawah roknya.

Aku berani bertaruh, jika Vivaldi sempat melihat semua ini, mungkin dia akan menambah bagian dari Four Seasons Violin Concerto nya dengan kacapi sunda. Kalau boleh aku lancang sedikit -maafkan- kuusulkan di bagian La Primavera in E Major yang tersohor itu.

Di puncak Cikuray ini dinginnya seperti pabrik es, sebentar saja kau diam diluar tenda, sengatan hawa dingin begitu terasa sampai menembus sumsum. Seketika itu kau akan gemetar, dimulai dari gemelutuk gigimu kemudian sendi kaku dan ujung jari kebas. Jika angin berhembus maka sensasi kedinginan itu berlipat. Maka benarlah kata pujangga, Cikuray mungkin diturunkan dari Kukurayeun artinya bergidik. Bisa bergidik karena hawa dingin atau bertemu raja hantu.  
 
     
Minggu 18 April 2010 pukul 07.58 WIB -setelah sarapan- akhirnya kami mulai perjalanan turun gunung. Tujuan pertama adalah puncak bayangan. Tak terasa hanya butuh 45 menit untuk sampai puncak bayangan. Di sini kami sempatkan untuk membuat tampungan air hujan dari botol air mineral, supaya suatu saat dapat dimanfaatkan oleh pendaki lain yang kekurangan air. Kami gantungkan di daerah agak terbuka, supaya air hujan dapat masuk. Tiba-tiba sekelebat kulihat sesosok hitam, gemuk, berjingkat-jingkat di atas tanah, berkaki kuning, itulah Jalak Kerbau (Acridotheres javanicus). Sekali lagi kutemui keanehan di puncak bayangan, burung ini seharusnya tak muncul di ketinggian di atas 1.500 mdpl. Kuakui aroma mistis masih kental di sini.

Perjalanan ke bawah terasa cepat, tralala, trilili, tiba-tiba sudah sampai di batu besar yang ada marker tim SAR dengan tulisan 2.330 mdpl. Artinya sudah sepertiga jalan. Aneh. Memang kami sempat terjatuh beberapa kali karena licin. Tapi tak mengapa.

Beberapa kali perjalanan terhenti karena bingung memilih jalur, untungnya pas naik kami memasang tanda tali raffia, dan aneh, sepertinya ada kekuatan yang membimbing kami untuk setia dengan jalur ini. Setelah melewati hutan yang curam, akhirnya kami lihat di kejauhan ada ladang penduduk, nah itulah lading akar wangi.

Akhirnya pukul 11.59 WIB sampailah kami di pemancar TVRI. Total perjalananan dari puncak 4 jam sudah, artinya separuh waktu naik. Sekali lagi aneh. Kuterka-terka kira-kira apa yang mendorong kami begitu cepat. Tapi tak kunjung kutemukan kenapa kami begitu efektif jalan turun. Aneh.
Tiba-tiba aku melotot. Eureka! Itulah rupanya! Itulah kekuatan yang membuat aku bisa turun begitu cepat dari puncak sana. Dorongan yang membuat orang begitu efektif menyelesaikan sesuatu. Dorongannya begitu dasyat. Sayangnya fenomena kekuatan ini belum pernah dibukukan oleh cendekiawan manapun. Lamat-lamat akhirnya kurasakan sedikit pegal di bawah tulang ekorku. Dan kekuatan itu adalah, aku ingin ke ‘belakaaaaaang’.


****


Setelah selesai urusan, kami harus kembali ke jalan raya. Jika jalan kaki butuh waktu 3 jam. Untung ada 3 orang pengendara sepeda motor. Setelah tawar menawar dengan bahasa yang tak terlalu kupahami, mereka mau mengantar kami ke jalan raya. Menuju jalan raya, melintasi kebun teh. Jalan masih berupa campuran jalan aspal setengah jadi, kadang hanya batu-batu, yang disusun sekenanya,  kadang setengah parit dan curam.

Motor berjalan terseok-seok. Dipersulit dengan membawa cariel sialan di punggung yang merosot tak seimbang. Aku merasa tak seharusnya seorang tukang ojek kesulitan menyetir di medan seperti ini. Karena toh mereka sudah biasa melintasi jalur ini. Motor masih terseok, kadang hampir menabrak pinggiran gundukan tanah kebun teh. Akhirnya si tukang ojek mengaku, kalau dia sejatinya bukan tukang ojek, tapi kebetulan lewat lihat-lihat pemandangan. Aduh.

Di depan sana kulihat kondisi jalan lebih curam, di kiri kanan ada genangan lumpur, terdapat batu-batu berserakan, dan kadang lubang yang tersamar oleh tingginya rumput  tak jarang di kanan jurang. Dan benar, ketika ojek melintas bagian ini, roda depan melintir ke kiri, akibatnya roda belakang melintir ke kanan. Aku terlempar, melayang seperti karung beras dilempar kuli.

Belum sempat menata posisi jatuh, aku tersangkut di atas pohon teh. Kesulitan bangun karena selain beban cariel di punggung, pohon teh gila ini seperti mencengkeram kaki tanganku. Kakiku nyangkut di antara ranting teh, alih-alih berpegangan, tanganku malah merosot jauh ke bawah. Tertungging, kaku tak bergerak.


****
thanks,
www. memorableindonesia.blogspot.com

Komentar

Komunitas Tegal mengatakan…
seru buangetttttttt, nginap digunung apa gak takut mas. aku mendingan ikut menikmati tulisanmu aja, udah cukup seru. Selamat buat team pendaki Cikuray yang kembali dengan selamat
Tunggulwulung mengatakan…
ya memang agak takut sih, tapi semuanya terbayar dengan seru dan keindahannya ..
Anonim mengatakan…
hati-hati mas
Tunggulwulung mengatakan…
ok bro...ayo gabung

Postingan Populer