Nasi Teri di Punggung Halimun

"Kamulah lelaki sesat lagi susah diatur", begitulah hardik Mbok Rah -Juru Jampi kampung kami dulu sewaktu aku masih kecil- sambil tak henti mengunyah sirih. Seumur-umur aku tak percaya ramalan itu, sampai di suatu subuh  sepertinya ramalan  yang telah lama terdiam di awan-awan, terlempar ke pucuk pohon trembesi dan pohon kokoh  keluarga Fabaceae ini mementalkannya padaku.  
***
Betapa tidak, disaat banyak gunung sedang bangun dari tidurnya, -Merapi meletus lalu Krakatau  mulai kambuh bengeknya- dan diikuti belasan gunung lainnya yang tadinya seanggun putri solo tapi kini mulai genit, eh malah aku merencanakan naik gunung lagi.
Bukan kerna sebab apa-apa kawan, aku hanya ingin bertemu bunga bakung yang tumbuh liar  di kaki-kaki gunung, yang menyembul di sela-sela gulma. Tak tahu aku kenapa bunga ini begitu memikatku terpasung, kerlingnya padaku selalu  mempesona bak tenung. Aku juga rindu bau embun di semak-semak dan kerasak ilalang.

Pagi itu kami berangkat dari rumah mang Oja, di gunung Bunder, kaki gunung Salak. Memang tujuan semula pendakian kali ini adalah puncak Salak 2, namun karena terjadi longsor, maka kami beralih ke saudara perempuan Salak, si cantik Halimun di selatan sana.

Berenam kami mulai trekking dari daerah Nanggung karena di titik ini sudah tidak ada angkot lagi. Berdasarkan informasi jika naik ojek maka perlu waktu 2 jam untuk sampai ke kebun teh Nirmala Sari. Berarti kalau jalan kaki perlu 8 jam. 


Kami mulai trekking pukul 10.00 WIB,  entah kenapa matahari lagi terik-teriknya waktu itu seperti tengah hari saja. Pukul 12.00 kami sampai entah di kampung apa,  berhenti sebentar untuk isi perut dengan bakso. Beruntung banget ada yang jual bakso. Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah kami di lereng bukit yang ditumbuhi hamparan Pinus (Pinus merkusii) yang berselang-seling dengan pohon Rasamala (Altingia exelsa). Sesekali kami bertemu dengan pengendara motor, maka kami tanyakan masih berapa kilo lagi, dan semuanya menjawab:"..masih jauuuh mas!".


Setelah berjalan 2 jam lagi, sekitar pukul 14.00 kami bertemu L-300 yang sedang mengangkut motor, heran di daerah seperti ini kok ada yang beli motor. Sopir berbaik hati kami boleh menumpang, kira-kira 50 menit kami sampai di kebun teh yang ada persimpangan jalan dengan plang bertuliskan "Diklat Sinar Mas 4 km". Akhirnya sampai juga dikebun teh Nirmala Sari. Wah lumayan kami menghemat beberapa kilometer. 

Niat kami buka tenda di camping ground  belakang diklat itu maka kami bergegas menuju arah sesuai plang "4km" itu. Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak di tengah-tengah kebun teh. 

Sungguh dasyat pengaruh letusan Merapi, meskipun jauh di timur sana, tetapi abunya sampai jua ke kening gunung Halimun di barat sini. Ya..abu vulkanik itu meski tipis-tipis saja, menutupi  batang, ranting pohon dan rerumputan termasuk daun si jelita Camellia sinensis yang dulu pernah memerangkapku. Meskipun abu tipis menutupinya, si Camelia ini selalu tampak ayu bagiku, justru sepertinya dia pakai bedak, rupanya dia bersiap kalau-kalau aku datang. Tahu kan kau kawan, itu Camellia, teh harum yang biasa kau seduh pagi hari.

Sementara di sebelah barat sana, jauh di atas kanopi, melayang-layang dengan anggun, Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) berputar-putar mengawasi daerah di bawah seputaran kepak sayapnya. Rupanya Halimun merupakan habitat elang jawa, pantas saja di sepanjang jalur ini kulihat tanda berhuruf merah "Dilarang berburu".

Terseok-seok di jalan mendaki berbatu, namun senang karena kami pikir sebentar lagi kami bisa buka tenda. Dan singkat cerita setelah berjalan 4 km kami mendapati  kenyataan bahwa camping ground  sialan itu bukan di belakang diklat ini tetapi di bawah sana, dari plang tadi arah kiri bukan arah kanan. Sial, maka kami harus putar balik menuju tempat semula. Menumpang L-300 tadi adalah penghematan waktu dan tenaga, namun kini kami harus balik 4km lagi jadi total 8 km jalan sia-sia, impas sudah. Di saat seperti ini kau tentu tak mau dengar lagu apa yang bakal kunyanyikan.

Setelah melewati kampung terpencil yang satu dan kampung lainnya,  kami sampai di camping ground Citalahab, namun kami putuskan untuk terus saja 2 km lagi dan melintasi plang bertulis huruf merah "Habitat Macan Tutul"  dan setelah belok kiri beberapa ratus meter maka pukul 17.20 sampailah di Pos Cikaniki. Sebuah pos di dekat curug Macan.

Sore itu kami ngecamp di pinggir  jalan setapak beberapa ratus meter setelah Curug Macan. Menurut cerita penduduk di kampung terakhir, curug ini adalah tempat minum macan tutul (Phantera pardus). Suara kemerosok air terdengar lamat-lamat di belakang sana.

Matahari telah terbenam ketika tenda berhasil didirikan.  Gelap sepertinya cepat sekali menguasai malam. Hawa dingin mulai menusuk-nusuk daun telinga. Suara serangga-serangga malam sahut-menyahut menggubah ensembel kamar tiada tanding, meski  tak selembarpun halaman ilmu harmoni pernah mereka baca di diktat teori musik. 

Kini saatnya memasak makan malam. Menu malam itu sungguh luar biasa, karena selama ini paling banter mie instan. Mang Oja rencananya akan menyiapkan hidangan istimewa. Karena dingin, aku awalnya cuma melihat, lalu lama-lama ikutan masak.

Awalnya beras dimasak bersama air. Sementara menunggu mendidih, kita iris bawang merah, daun bawang dan cabai keriting dan membersihkan teri jengki. Dan inilah yang istimewa kata Mang Oja sambil mengangkat benda hijau panjang berbuku-buku, Petai. "Pufff, Petai?", kataku terbelalak. Kok sempat-sempatnya bawa petai.   

Ketika beras mulai mendidih, dimasukkanlah irisan bawang merah, daun bawang dan cabai keriting. Kemudian diaduk-aduk supaya tidak gosong dasar pancinya. Nah inilah uniknya, ditutuplah panci itu dengan daun pisang dan di atas daun pisang ditaburkanlah teri jengki dan petai. Setelah daun pisang layu, maka daun pisang itu diangkat maka tak pelak terceburlah teri dan petai itu beramai-ramai ke panci, dan diaduk-aduk. Kemudian ditambahkan sedikit garam, minyak sayur dan penyedap rasa dan terus diaduk-aduk.

Mang Oja mengambil dua bilah daun pisang yang utuh, kemudian dibentangkan di depan tenda dan Nasi Teri Ajaib ini kami tuangkan di atas daun pisang itu yang sekarang berubah menjadi meja perjamuan makan malam. Meja tanpa kaki dan beratapkan langit, di tengah hutan gelap. Jika orang-orang kaya dinner dengan table manner diiringi Symphoni no 40 in G minor karya Mozart yang terkenal itu,  -terutama bagian Molto allegro mulai birama ke-45 saat Oboe saling bersahut dengan Biola- maka kami sungguh berbahagia apabila diiringi lagu Sepiring Berdua. Makan dengan menggunakan suru (sendok terbuat dari daun pisang yang dilipat). Aduh...sedap nasi anget bercampur gurihnya teri dan legit petai...bolehlah ini kusebut sebagian surga turun ke bumi.
***

Curug Macan
Paginya bangun, saat itu masih 05.45, sinar lembayung matahari malu-malu menembus sela-sela dahan pohon yang berebut menyambutnya. Bergegas aku berjalan ke arah curug Macan. Di tengah kelengangan hutan lembab ini, suara gemericiknya seakan meneriakkan kesepian yang tiada terjawab. Tak ada siapa-siapa yang sudi mendengarnya, tidak batu, tidak juga lumut dan daun tekokak. Meskipun tak ada yang mendengarkan, dia tetap setia melantunkan ritme gemericik air yang terpantul bebatuan, mengumandangkannya entah sampai kapan.



Pukul 07.30 setelah sarapan sekenanya kami bergegas mengemasi tenda dan mulai jalan turun. Sepanjang perjalanan kami melihat burung aneka warna, dan  Owa Jawa (Hylobates moloch) semacam lutung hitam dan penganut monogami, karena setia kepada pasangan tunggalnya. 

Pukul 10.00 kami sudah sampai di pintu keluar taman nasional gunung Halimun. Aku pikir di sinilah rupanya angkot tersedia, tapi ya ampun ternyata ini masih jauh dan melewati jalan berbatu. Akhirnya kami sampai di sebuah kali besar yang bening, karena sayang untuk dilewatkan maka kami beramai-ramai nyebur.


Sawah di lereng Halimun
Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah di sebuah kampung ketika aku lihat warung yang menjual makanan kecil.  Ternyata di jawa ini -tak usah bicara Indonesia dulu kawan- ternyata masih banyak dan luasnya daerah yang tak tersentuh angkot. Transport antar kampung hanya mengandalkan ojek dengan jarak yang sedemikian jauh dengan jalan yang lebih mirip  hamparan batu-batu berserakan. Tak terbayang olehku bagaimana anak-anak kecil berbaju putih merah yang bertulis Tut Wuri Handayani di sakunya itu ke sekolah. 


Akhirnya setelah berjalan di sepanjang jalanan beraspal yang bolong-bolongnya sebanyak bopeng wajah bekas kena cacar  maka pukul 14.00 yang berarti 6 jam sudah kami berjalan, di ujung sana kulihat kenek angkot memanggil-manggil calon penumpang. Ah lega, rupanya di sinilah akhirnya bisa meluruskan pantat lagi.  Di ujung jalan itu kulihat tulisan kecil di sebuah plang nama kantor pemerintah desa, dan nama yang tertera kok rasanya akrab di telinga kami  sejak tadi malam: Cipeteuy.

Komentar

hari nan elok mengatakan…
Buah kecapi buah kedondong,bagi donk terinya.
Anonim mengatakan…
mantep mas. Sudah kangen jalan2 lagi nih. Tahun 2007 saya kesana, tapi naik Elf sampe tujuan. Tidurnya juga di dalam pos Cikaniki, jadi ceritanya gak seseru ini.. hehe

salam. siamang
Tunggulwulung mengatakan…
ayo Siamang..kalo ke gunung lagi ntar dapet ide segar u buat karikatur lagi

Postingan Populer