thanks for reading,
Ekspedisi dilanjutkan ke Dieng Plateau. Setelah berkelok kelok melalui ladang Tembakau, maka semua rasa pengap selama perjalanan seketika lenyap demi melihat indahnya dataran yang terletak di ketinggian 2.300 mdpl ini. Sebenarnya banyak sekali obyek wisata yang dapat kau nikmati di sini, namun tak mungkin dilakukan sehari.
Dimulai dari komplek candi Pandawa lima. Merupakan candi hindu tertua di Jawa Tengah. Jaman dulu pernah tergenang air, namun kini sudah dikeringkan dan dibangun taman-taman indah di sekelilingnya. Termasuk bunga kuning elok mirip terompet, namun beracun, Kecubung namanya.
Dilanjutkan ke kawah Sikidang. Disebut Sikidang (Kijang) karena air kawah yang meloncat-loncat seperti hewan lincah ini. Airnya mendidih, bergelegak dan mengeluarkan bau tak sedap, mirip campuran antara bau kaos kaki basah dan ketek kucing. Kalau terlalu lama disini kau bisa mabuk. Namun keeksotisan kawah ini terlalu sayang dilewatkan.
Tak sabar akhirnya sampailah kami di Telaga Warna. Disebut telaga warna karena walau satu danau tetapi memiliki warna berbeda, hijau tua, hijau muda, dan kadang agak merah. Entah kenapa seperti itu, mungkin karena tumbuhan renik alga. Di sebelah telaga ini sebenarnya ada telaga Pengilon. Dulu airnya bening sampai kau bisa berkaca (jawa : ngilo) di atasnya. Namun kini sungguh mengenaskan. Selain airnya berkurang terus karena dimanfaatkan untuk pertanian, juga tumbuhan bengis yang tajam daunnya menjajah seenaknya, dia itulah ilalang ( Imperata cylindrica).
Tak terasa sudah pukul 14 siang, harus turun ke Wonosobo, karena Sauto telah menunggu. Sejatinya Sauto mirip rawon, menggunakan keluwak sebagai bumbu intinya. Namun Sauto Wonosobo terbilang unik. Dimakan bersama lontong, taoge rebus, sambal hijau dan taburan seledri. Maka sauto daging sengkel nan lezat itu seperti menari-nari di depanmu. Bahkan sejenak sebelum menyuapnya, tak terasa air liur tanpa permisi melompat keluar dari kelenjar ptialinmu. Terimakasih ibu Lily dan keluarga yang telah repot mempersiapkannya.
Sayangnya kami harus pamit ke Parakan. Sudah menjelang pukul 19 ketika kami sampai di Parakan.
Pagi itu si cantik kembang Teleng (Clitoria ternatea) sedang mekar-mekarnya. Lihatlah titik-titik embun masih menempel mesra di pinggir kelopaknya yang tipis. Berayun-ayun diterpa angin pagi. Bunga dari tanaman merambat yang masih sekeluarga dengan flamboyan itu sedang memamerkan warna biru genitnya. Lentik dan cerah. Secerah sambutan tepuk tangan hadirin ketika kami selesai melantunkan Ride the Chariot di GKI Parakan. Di pagi yang dingin itu, justru kami merasakan kehangatan luar biasa. Nanti kuceritakan padamu kenapa bunga ini memikatku.
***
DAY 1
Bel Canto kali ini mendapat kesempatan melawat para sahabat di Parakan dan Wonosobo. Setelah berkendara 14 jam dengan bis melalui jalan yang di beberapa tempat lebih mirip tambak bandeng, akhirnya pukul 09.05 berhasil sampai di Wonosobo. Mengawali hari dengan sarapan Nasi rames di Jalan Ahmad Yani. Nasi dengan lodeh tahu cabai hijau, daging ungkep, tempe kemul. Disantap dengan nasi hangat dan lihatlah beberapa orang sampai merem-melek menikmatinya. Boleh ini kusebut sebagaian surga turun ke bumi.
Candi Pandawa |
Dimulai dari komplek candi Pandawa lima. Merupakan candi hindu tertua di Jawa Tengah. Jaman dulu pernah tergenang air, namun kini sudah dikeringkan dan dibangun taman-taman indah di sekelilingnya. Termasuk bunga kuning elok mirip terompet, namun beracun, Kecubung namanya.
Dilanjutkan ke kawah Sikidang. Disebut Sikidang (Kijang) karena air kawah yang meloncat-loncat seperti hewan lincah ini. Airnya mendidih, bergelegak dan mengeluarkan bau tak sedap, mirip campuran antara bau kaos kaki basah dan ketek kucing. Kalau terlalu lama disini kau bisa mabuk. Namun keeksotisan kawah ini terlalu sayang dilewatkan.
Tak sabar akhirnya sampailah kami di Telaga Warna. Disebut telaga warna karena walau satu danau tetapi memiliki warna berbeda, hijau tua, hijau muda, dan kadang agak merah. Entah kenapa seperti itu, mungkin karena tumbuhan renik alga. Di sebelah telaga ini sebenarnya ada telaga Pengilon. Dulu airnya bening sampai kau bisa berkaca (jawa : ngilo) di atasnya. Namun kini sungguh mengenaskan. Selain airnya berkurang terus karena dimanfaatkan untuk pertanian, juga tumbuhan bengis yang tajam daunnya menjajah seenaknya, dia itulah ilalang ( Imperata cylindrica).
Telaga Warna |
Sayangnya kami harus pamit ke Parakan. Sudah menjelang pukul 19 ketika kami sampai di Parakan.
Tak sedingin cuacanya, ternyata para sahabat di Parakan adalah orang-orang yang hangat dan sangat ramah. Bahkan lebih hangat dari wedang ronde yang kami santap bersama. Uapnya masih mengepul, manis legit disela pedasnya jahe. Ah, indahnya malam itu. Parakan adalah kota kecil, bahkan hanya kecamatan. Masih kau jumpai keteprokan kaki kuda menarik delman. Namun umumnya makmur karena merupakan sentra penghasil tembakau.
DAY 2
Lagu Wartakno diiringi ensemble jawa. Bonang, saron yang memantul-mantul, gaung gong dan ketipakan kendang kulit. Terasa berada di awang-awang, asing namun indah, bolehlah ini kusebut sebagai close to heavenly experience. Dilanjutkan Ride the Chariot yang bercorak afro american gospel. Tepuk tangan memecah dinginnya ruangan, meriah. Sayangnya, kami harus pamit ke Wonosobo lagi.
Perjalanan menuju Wonosobo melalui Kledung pass, area yang membelah gunung Sumbing di kiri dan gunung Sindoro di kanan. Gunung Sumbing tampak gersang, sombong, memamerkan kaki-kakinya yang perkasa. Menggelosor seenaknya sendiri. Seperti berkata: "Apa lihat-lihat". Sementara Sindoro tampak anggun, lihatlah matahari yang menyinari puncaknya, sehingga tampak keemasan. Seperti memakai tiara. Sementara bagian bawahnya ditumbuhi hutan tropis, lebat dan misterius. Seolah memakai rok panjang hijau nan tebal. Ah, sepertinya dia tak mengijinkan aku mengintip bagian bawah roknya.
Wonosobo lagi.
Hanya beberapa dari kami yang berasal dari kota ini. Tapi anehnya kami semua merasa seperti di kampung sendiri, kami merasa seperti berada di tempat dimana para kakek kami menanam sisa pusar yang lepas di hari kedelapan dari perut kami.
Masih lagu yang sama yang kami lantunkan, namun kali ini dengan power lebih kuat, karena sepanjang perjalan dari parakan tadi, nasi goreng memenuhi sisi kanan lambung abrasive kami, sementara di sisi kiri urap dan kawan-kawannya.
Sebelum kembali ke Jakarta kami sempatkan singgah di rumah host couple kami yang ramah. Di meja telah tersedia aneka makanan khas Wonosobo, ada citak, geblek, serabi.
Namun aku tertarik dengan makanan di ujung meja sana. Warnanya cerah, menggiurkan. Dari teksturnya, jelas ini pasti terbuat dari ketan, mirip wajik. Lidah lokal menyebutnya ketan biru. Sebenarnya bukan biru, aku lebih setuju disebut cyan. Seperti warna kolam renang ketika langit sedang cerah-cerahnya. Aku dididik untuk menghindari zat warna adiktif. Namun setelah kutanya, ternyata warna biru indah ketan ini berasal dari bunga-berarti pewarna alami-.
Bunga ini termasuk keluarga polong-polongan (Fabaceae) maka masih berkerabat dengan Flamboyan si raja flora itu. Pohon Flamboyan bisa tumbuh belasan meter, sementara bunga ini hanyalah tanaman merambat saja. Flamboyan biasa berdiri angkuh di pinggir jalan, sementara bunga ini hanya bisa melipir, menambatkan diri di pagar untuk menyokong tubuhnya. Kadang didiamkan orang tak ada yang mengurusnya. Namun lihatlah, warnanya yang cemerlang, menggugah selera. Biru terang. Orang sini menyebutnya Kembang Teleng.
***
Next trip??
Komentar