Surati, Pahlawan Perempuan Dari Tulangan

Ilustrasi Pabrik Gula, Abraham Salm
Virus Corona Novel (Covid-19) sedang ramai di media, jadi teringat kisah pandemi yang diabadikan roman Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.

Diceritakan bahwa dulu tahun 1900an di Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur terdapat pabrik gula yang dipimpin tuan besar kuasa administratur bernama Frits Humerus Vlekkenbaaij. Penduduk sekitar pabrik melafalkannya sebagai Plikemboh. Orangnya gemuk, botak, pipi menggantung, berbulu, licik dan berkuasa. Bahkan kabarnya Gubernur Jenderal saja kalah besaran gajinya dibanding Plikemboh. Anak kecil melihat dia bisa kena sawan. Intinya bagi penduduk kalau bisa jangan sampai berpapasan dengan orang ini.

Paiman (anak Sastrotomo dahulu juru tulis pabrik itu; kakak Sanikem/nyai Ontosoroh) bekerja di pabrik itu sebagai kasir, sehingga masyarakat memanggilnya Sastro Kassier. Jabatan mentereng untuk pribumi waktu itu. Paiman punya anak perempuan beranjak dewasa bernama Surati.

Dasar sial, Plikemboh mengetahui bahwa Sastro Kassier punya anak perempuan dan dia ingin menjadikannya gundik. Maka dengan kelicikannya Plikemboh mengambil uang pabrik dan menuduh Sastro Kassier yang mencurinya. Supaya perkara ini tak diteruskan ke polisi, Plikemboh menawarkan bagaimana jika Surati digundiknya.

Karena takut jabatannya hilang, Sastro Kassier memberikan Surati dipergundik Plikemboh. Tentu rencana ini ditentang Djumilah, namun apa daya istri jika kepala keluarga sudah memutuskan. Tetapi Surati punya rencana terpendam. Di sinilah cerita dimulai.

Surati mengiyakan saja keinginan bapaknya yang pengecut dan gila jabatan ini. Tetapi sebelum diserahkan kepada Plikemboh, Surati meminta satu hal yaitu pergi beberapa hari dari rumah untuk bersamadi.

Saat malam Surati berjalan ke arah selatan Tulangan, barangkali 15 km. Hanya ditemani sinar rembulan dan suara ajag. Beristirahat barang sebentar. Sepi karena serdadu kompeni melarang orang keluar/masuk dari/ke desa di selatan sana. Sebabnya desa itu diserang wabah cacar. Dinas kesehatan kompeni kewalahan dan satu-satunya cara mencegah cacar meluas adalah menyemprot seluruh desa itu dengan minyak bumi kemudian di bakar. Rencana itu diprotes oleh para lurah, sebelum dibakar setidaknya diberikan kesempatan penghuni desa untuk mati sewajarnya dalam cacar.

Surati berjalan sepuluh kilometer lagi ke selatan. Dilihatnya api unggun, mungkin itu adalah pos jaga kompeni. Dia merunduk, berjalan dengan kedua sikunya supaya tidak ketahuan. Surati berhasil masuk desa itu, sepi. Dia memasuki suatu rumah, ada mayat sekeluarga rumah itu. Pasti mati terkena cacar. Di luaran sana, mayat-mayat bergelimpangan beberapa bagian tubuh mayat itu luka digerigiti binatang. Bau bangkai dimana-mana.

Surati tinggal barang dua hari dan tiga malam di situ. Badannya serasa merinding jika terkena angin. Mungkin virus cacar sudah mulai menggerogotinya. Kemudian ia berjalan pulang ke Tulangan. Harus merunduk lagi, berjalan dengan kedua siku, supaya tidak terlihat oleh pos jaga serdadu kompeni. Kemudian terus berjalan ke utara sampai menjelang pagi. Sekira sudah dekat Tulangan, ia sempatkan mandi di suatu sumur dan berganti pakaian. Pakaian yang terbaik. Kali ini tujuannya hanya satu, rumah Plikemboh.

Sesampai di depan rumah tuan besar kuasa administratur, ia ucapkan kulonuwun. Plikemboh keluar, bertanya: "Kamu Surati anak Sastro Kassier?" Iya ini sahaya ndoro, jawab Surati gemetaran. Plikemboh dengan girang membimbing Surati menaiki tangga rumah menuju kamar. Tempat yang akan mengubahnya dari perawan menjadi gundik. Status hina yang mungkin akan disandangnya seumur hidup. Surati berpikir, ambilah semuanya dari padaku dan semoga kamu binasa dengan baksil cacar di tubuhku.

Mereka berdua di hari-hari belakangan tergolek di ranjang menunggu datangnya maut. 

Desa di selatan sana telah dibakar kompeni. Sementara Tulangan terlalu berharga untuk dibakar karena ada pabrik gula. Pencacaran dilakukan di Tulangan. Penduduk diisolasi. Banyak yang meninggal. Di antara yang meninggal adalah Plikemboh, sementara Surati selamat namun harus menanggung bekas bopeng di wajahnya.

Surati tidak mampu melawan bapaknya, apalagi melawan Plikemboh. Namun dia melawan dengan caranya sendiri. Setidaknya dapat berbuat lebih daripada Sanikem ketika dahulu diserahkan oleh Sastrotomo kepada tuan administratur Herman Mellema. Surati adalah pahlawan.

Sumber: Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer, halaman 187-229  

Komentar

isna saragih mengatakan…
tetep penasaran cerita minke dan annelies deh pak hehe

surati keren juga, berkorban demi warga tulangan

djangki.wordpress.com
isna saragih mengatakan…
tetep penasaran cerita minke dan annelies deh pak hehe

surati keren juga, berkorban demi warga tulangan

djangki.wordpress.com
Tunggulwulung mengatakan…
Annelies dan minke berakhir sama, die young

Postingan Populer