Ilustrasi: dari Mark Hyde |
***
Prevention
of Tax Treaty abuse, pencegahan penyalahgunaan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda, menyebutnya saja sudah terbata-bata, apalagi memahaminya, bisa-bisa
kena sawan. Buat kawan yang belum tahu, itu adalah langkah aksi nomor 6 BEPS[2], adalah
upaya menangkal perencanaan pajak perusahaan global yang memanfaatkan celah dan
kelemahan aturan pajak, yang berupaya mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi
pemajakan rendah untuk menghindar pajak seenak perutnya sendiri.
Seorang
Account Representative, mas Langgeng, asli kelahiran negeri Kanjeng Sunan Gunung Jati, menjelaskannya padaku,”iya pak, setelah isun[3]
teliti, Wajib Pajak ini memecah proses bisnisnya menjadi dua segmen, dimana
satu segmen didesain sedemikian rupa sehingga memenuhi kriteria Pasal 9 Tax
Treaty Indonesia-Amerika Serikat. Padahal seluruh dunia termasuk tiang
bendera saja tahu bahwa perusahaan itu bergerak di bidang Jasa kelogistikan
pengiriman paket global, bukan hanya penerbangan”. Pengetahuan perpajakan
internasionalku yang masih dalam taraf mengharukan, terseok-seok mencernanya.
Sebagaimana
kawan-kawan mahfum, Pasal 9 itu mengatur
bahwa keuntungan atas pengoperasian transportasi udara dalam rute
internasional, hanya dipajaki di negara dimana manajemen efektif berada. WP ini
berasal dari negeri paman Sam, di Indonesia seolah hanya melakukan usaha
penerbangan internasional dengan rute internasional, maka sesuai Tax Treaty
hak pemajakan berada di Amerika Serikat. Padahal WP ini merupakan perusahaan
yang dikenal di seluruh dunia yang bergerak di bidang jasa kelogistikan
pengiriman paket global. Dalam proses bisnisnya di Indonesia, WP
“memecah”usahanya menjadi dua kaki. Kaki kiri dijalankan oleh pihak ketiga yang
mengurusi jasa kelogistikan lokal, pengiriman paket, pergudangan, sementara
kaki kanannya berupa Bentuk Usaha Tetap, hanya mengurusi transportasi udara rute
internasional, yaitu mengangkut barang paket dari dan ke Indonesia. Kau tahu
kan tujuan kaki kanan itu?
Tak
lain adalah untuk memanfaatkan Tax Treaty Pasal 9 itu. Pihak ketiga yang
menjadi kaki kiri tadi dalam menjalankan bisnisnya memakai logo, intangible
asset, system milik kaki kanan. Untuk kemudian kaki kiri mentransfer
fulus atas jasa inbound, outbound, pemaketan, pengurusan kargo
darat dan udara kepada kaki kanan. Sehingga sebenarnya keuntungan atas usaha yang
dilakukan kaki kanan di Indonesia tidak sekedar dari jasa transportasi udara/penerbangan
rute internasional. Sungguh repot menulis ini, aku sendiri suka tertukar kaki
kiri kanan itu.
Tak
hanya lihai melihat celah Tax Treaty, WP ini jitu menerapkan siasat SunTzu,
dosen tingkat lanjut Seni Perang, “all war is deception.” Artinya selama
ini mereka telah berhasil memperdaya kami dengan seolah mengidentifikasi diri
sebagai perusahaan transportasi udara dengan rute internasional sehingga sesuai
aturan yang ada tak dipajaki di Indonesia.
Konseling
beberapa kali dengan WP menemui jalan buntu, karena masing-masing pihak
memiliki dalilnya sendiri, sehingga tidak ada titik temu. Ditambah saat itu
pandemi Covid sedang melangit, sehingga pertemuan secara fisik sulit. Arti
generiknya mandeg, susah.
Untuk
melawan strategi perang itu, karena sudah kebingungan, teringatlah aku pada nasehat
Bang Haji Rhoma Irama, yang dengan gitar Steinberger buntungnya melantunkan:
Dengan bekerjasama
yang susah jadi mudah,
Begitu harusnya kita bekerja,
Rambate rata hayo.
Iya kerjasama. Setali
tiga uang, mas Langgeng juga berpendapat sama, untuk mengurai kasus ini
kami mesti bekerjasama dengan Fungsional Pemeriksa Pajak. WP itu dimasukkan ke
Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan. Fungsional Pemeriksa Pajak menerima tongkat
estafet dengan cekatan, berlari tanpa melihat kiri-kanan, berpacu dengan target
penyelesaian pemeriksaan. Di akhir November mereka memberi kabar baik, bahwa
telah menerbitkan ketetapan pajak sekira 100 miliar rupiah lebih, itu baru untuk
satu tahun pajak saja. Kabar buruknya WP memang tidak setuju atas hasil
pemeriksaan itu, sehingga kami perlu menyiapkan amunisi tambahan saat mereka
keberatan, dan tenaga badak saat mereka banding di pengadilan pajak. Sekantor
sudah siap lari marathon.
Sabtu 25 Desember 2021, Seksiku terengah-engah
berhasil menyentuh pita finish di angka 100,06%, tipis namun rasanya manis.
Tahu-tahu, Rabu 29 Desember 2021 WP yang diperiksa oleh Fungsional Pemeriksa
Pajak itu menyetor ketetapan pajak 100 Miliar rupiah lebih. Mbeledug.
***
Hari ini Kamis 30 Desember 2021,
diadakan acara syukuran pencapaian kinerja sekanwil di
lapangan basket, aku melihat keriaan acara itu dari
kejauhan sambil meneduh di bawah pohon Flamboyan yang anggun ini. Sambil mematut-matut
diri, membayangkan betapa canggih tax planning yang dilakukan WP. Namun
aku lebih terpana lagi kepada AR dan Fungsional yang berhasil membongkar
praktek tak elegan itu. Rumit dan sekolahan sekali. Tak lepas aku dirundung takjub.
Tanpa aba-aba angin berhembus kuat, menggoncang
pucuk pohon tinggi ini, tiba-tiba terdengar suara krasak, srot, blethak. Tak sempat
menghindar, kepalaku kejatuhan buah pohon keluarga polong-polongan ini. Bentuknya panjang, berbongkol-bongkol
mirip seperti lanjaran petai, untung saja aku memakai topi. Aku curiga, segera
kubuka Buku Saku Pintar IPA Sekolah Dasar, dan ternyata benar Delonix regia
tak semanis dan senaif namanya. Baru kutahu Delonix diturunkan dari
Bahasa Yunani Delos yang berarti mencolok dan Onyx yang bermakna
cakar. Kepalaku sedikit benjol.
Walaupun Charles Darwin[4] mengaku dirinya keturunan Trachypithecus auratus, semacam makhluk telanjang berbulu banyak yang suka memanjat pohon, setidaknya ada satu maklumatnya yang aku percaya, “great is the power of misinterpretation.” Sambil mendongak ke atas, tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan mengurut kepalaku sendiri, kutengok pohon Flamboyan kurang ajar ini, selama ini aku telah salah menilaimu hai kau pohon cakar sialan.
[4] Penggagas teori evolusi, pengarang buku kontroversial On the Origin of Species by Means of Natural Selections
Komentar