Cuaca mendung dan sekali-sekali gerimis tak menghalangi umat Hindu mendatangi acara Tawur Agung Kesanga dan Pawai Ogoh-Ogoh di sisi barat Monumen Nasional, Jumat tanggal 4 Maret 2011. Acara ini digelar dalam rangka Tahun Baru Saka 1933 keesokan harinya. Para pria datang dengan pakaian putih lengkap dengan tutup kepala khas Bali. Sementara wanita memakai gelung.
Sementara rombongan ogoh-ogoh berdatangan memakai truk. Beraneka bentuk makhluk seram (Buthakala) yang menghuni alam bawah alamnya manusia umumnya berwarna merah, berkuku panjang, mata melotot dan taring panjang.
Ogoh-ogoh berfungsi untuk mengusir semua pengaruh buruk yang ada di alam karean, besoknya kita akan menyambut tahun baru (hari Raya Nyepi). Nah sebelum ogoh-ogoh itu diarak, ada upacara tawur (semacam kurban) terlebih dahulu, jadi para buthakala itu diberi sesajen supaya mau meninggalkan / menjauhi alam kita, nah bagi yang masih bandel (ga mau pergi) diusir /ditakut-takuti dengan bunyi-bunyian alat dapur yang dipukul beramai-ramai. Di Bali biasanya setelah selesai di arak keliling desa, ogoh-ogoh itu dibakar di kuburan / pinggir desa.
Tawur berarti kurban, bahasa balinya Caru, Agung artinya besar-besaran, Kesangan karena jatuhnya pada bulan ke sembilan. Itu dilakukan setiap tahun sebelum Nyepi mulai dari rumah tangga (tiap2 rumah), di setiap desa, di setiap kabupaten dan di propinsi. Tawur ditujukan untuk buthakala ( mahluk bawahan / yang levelnya di bawah manusia) supaya mereka tidak membuat onar karena kita akan merayakan Tahun Baru.
Rentetan Nyepi mulai dari Melasti (3 hari sebelum Nyepi) tujuannya untuk meyucikan diri (manusia) dan Pratima (Simbolis Dewa-dewa yang bersemayam di tiap Pura) ke Pantai tertentu, dilanjutkan dengan Tawur Kesangan pada hari Ngerupuk (sehari sebelum Nyepi) untuk mengusir pengaruh jahat butakala dari kehidupan kita, dan dilanjutkan dengan Nyepi keesokan harinya.
Pada hari Nyepi ada 4 macam pantangan bagi Umat Hindu, yaitu tidak boleh bekerja (amati karya) , tidak boleh menyalakan Api (amati Gni), tidak boleh bepergian (amati lelungan), dan tidak boleh menikmati hiburan (amati languan).
Menurut pihak penyelenggara, acara ini diselenggarakan dengan iringan doa untuk kerukunan dalam kemajemukan, mengingat negara ini memiliki tantangan untuk membina kerukunan antar umat beragama.
with thanks to Sayna.
Komentar