thanks for reading,
Semula dia bekerja dan tinggal di Jakarta, namun kemudian oleh kantornya dipindah tugaskan ke kabupaten B di Sumatera sana.
Inilah pertama kalinya dia bekerja di luar pulau. Dari Jakarta, setelah turun dengan pesawat di bandara ST perlu 6 jam perjalanan darat menuju B.
Singkat cerita Bang Sad sudah sampai di B, kotanya sepi, tidak ada Mall apalagi XXI.
Yang cukup ramai hanya jalur lintas Sumatera dan area perkantoran saja, agak ke dalam perkampungan sepi dan beberapa ruas jalan saja yang ada lampunya. Lebih dari itu hanya kebun sawit ujung ke ujung.
Gak kerasa, Bang Sad sudah sebulan di B.
Sebagai orang baru penasaran rasanya ingin menjelajah kabupaten-kabupaten sekitar.
Sabtu siang ini setir motor diarahkan ke Kabupaten S berjarak sekitar 75 km dari B.
Sendirian nyetir, karena kawan-kawan kantor rata-rata bukan orang sini, jadi sabtu-minggu mereka pulang ke rumahnya masing-masing di kabupaten atau kota sekitar.
Jalanan Sumatera luas dan sepi, tidak sama dengan Jakarta yang macet.
Selepas kampung-kampung, mulai jarang rumah, kiri-kanan jalan hanya semak perdu, hutan, kebun sawit atau kadang-kadang tanah kosong berlempung.
Sesekali biawak atau babi hutan seenaknya menyeberang jalan.
Setelah satu jam bermotor, sampailah Bang Sad di pinggiran kabupaten S.
Mencoba makanan terkenal di sini, pindang ikan Tapah. Pindang adalah gaya masakan berkuah Sumatera (tidak sama dengan arti ikan Pindang di Jawa Timur). Kata makwo penjualnya, ikan Tapah penghuni Batang A berbentuk mirip ikan Patin berukuran besar, giginya banyak, konon ikan dewasa bisa makan manusia.
Sampai di sini semua berjalan normal-normal saja.
Setelah puas jalan-jalan di S, selepas magrib, Bang Sad berniat balik ke B. Sengaja tidak makan sore dulu karena sesiangan tadi banyak jajan, jadi perut masih terasa kenyang. Hari mulai gelap. Disinilah ceritanya dimulai.
Sekira 45 menit bermotor sampailah bang Sad di jalanan yang kiri-kanannya perdu atau hutan semak, sepi lagi gelap. Agak mendung pula. Maklum walau sudah puluhan tahun Republik ini memproklamasikan kemerdekaannya, listrik di sini masih sering padam, apalagi hari sabtu atau minggu.
Karena kurang penerangan, motor Bang Sad seperti melindas gundukan bergerak. Crukkk duk.
Motor oleng. Beberapa belas meter kemudian bang Sad sadar ban motornya mengempes.
Biawak sial, katanya.
Tengok kiri-kanan tidak ada siapa-siapa. Jalanan sepi. Lampu motornya jadi satu-satunya penerang. Beberapa serangga terbang mendekati bendang lampu motornya.
Apa boleh buat, sambil misuh-misuh, Bang Sad menuntun motornya.
Tukang tambal ban, dimana kau di tengah antah berantah begini. Sudah lima belas menit Bang Sad menuntun motornya, namun belum ada tanda-tanda mendekati kampung. Agak jauh kelihatan kelip-kelip deretan lampu entah kampung entah toko. Tak ambil tempo, Bang Sad mempercepat menuntun motornya ke situ.
"Rest Area L". Demi melihat plang di kanan jalan itu, Bang Sad lega. Rupanya semacam rest area, tidak terlalu luas, ada tukang bakso, tukang kopi, nasi lemak, gulai tekuyung. Dan yang paling penting ada tukang tambal ban.
Sambil ngopi, Bang Sad ngobrol dengan pedagangnya. Dia cerita kalo baru sebulan ini di Sumatera. Tukang kopinya bapak-bapak setengah baya, memakai sarung hitam dan lacak berwarna hitam. Orangnya ramah. Bapak itu bercerita juga bahwa dia sudah 8 tahun berdagang di rest area ini. Kopinya khusus didatangkan dari dataran tinggi J sebuah kecamatan terpencil di selatan sana, walau robusta namun ada kecutnya. Bang Sad heran, baru pertama ini mengenal robusta yang ada sensasi asamnya. Enak, katanya.
Tiba-tiba hujan turun lebat. "Cilaka", katanya. "Meneduh bae di sini dulu mas, takutnya jalan licin", Kata bapak penjual kopi sambil melayani pembeli lain. Pembeli lain itu, pemuda, memakai lacak hitam juga seperti bapak penjual kopi, umurnya sekira 27 tahunan, seumuran Bang Sad. Pembeli itu minta dibungkuskan kopinya, jadi tidak ikut ngobrol di warung ini. Bang Sad merasa aneh, karena antara bapak penjual kopi dan pembeli itu tidak bicara apa-apa, sepertinya sudah kenal lama, cuma datang, dikasih kopi, langsung bayar, trus pergi.
Bapak penjual kopi itu juga bercerita bahwa dia tinggal di kampung di belakang rest area ini, bersama istri, anak kedua dan si bungsu, sedang anak pertamanya merantau ke Jakarta. "Dimana di Jakartanya pak?" tanya Bang Sad. "Menteng Pulo, sudah dua tahun ini belum pulang ke sini".
Bang Sad antara senang dan sedih. Senang karena merasa relate dengan bapak penjual kopi yang punya anak di Jakarta, sedih karena justru orang sini merantau ke Jakarta, sementara dia sendiri yang berasal dari Jakarta malah bekerja di kabupaten ini. Seperti kebolak-balik.
Obrolan mengalir ngalor-ngidul, Bang Sad kaget ketika melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 10 malam. Rest area yang tadinya ada barang tiga empat mobil dan belasan motor, kini tinggal dia dan satu motor di ujung, sepi. Bang Sad merogoh dompetnya dan pamit.
Bapak penjual kopi menawari Bang Sad supaya menginap saja di rumahnya, karena agak gerimis, baru besok pagi melanjutkan perjalanan ke B, toh besok hari minggu, tak perlu tergesa.
Bang Sad memutuskan tetap pulang ke B, dan berterima kasih ke bapak penjual kopi yang sudah bermurah hati.
"Terima kasih pak, semoga bapak laris jualannya."
"Iya mas, hati-hati di jalan, kalau kapan-kapan lewat, silahkan mampir lagi ke warung saya ini. Masnya baik, saya jadi ingat anak saya yang di Jakarta itu, seumuran sama mas."
Motor distarter, lampu dinyalakan, Bang Sad siap meluncur. Bang Sad memang tukang ngopi, jika ketemu yang cocok kadang lupa waktu, nongkrongnya kelamaan seperti tadi. Menuju pintu keluar rest area, Bang Sad mencium bau wangi, yang jelas bukan bau minyak wangi. Wanginya seperti bunga sedap malam. Manis dan musky. Baunya kuat dari arah belakang.
Sebelum keluar rest area, Bang Sad menoleh ke belakang. Warung bapak tadi tahu-tahu sudah gelap, kok cepat sekali beberesnya, mungkin bapak itu juga bergegas pulang, pikirnya.
Singkat cerita Bang Sad sudah sampai di B.
Waktu berlalu dengan cepatnya, kini Bang Sad sudah enam bulanan di B. Mulai hapal pojok-pojok kota tempat kuliner atau ngopi. Mendengar kata kopi, Bang Sad teringat rest area di pinggiran kabupaten B yang dia mampir lima bulan yang lalu, rasanya ingin ke sana lagi, tapi siang hari saja.
Masih dengan motor bebeknya, Bang Sad meluncur ke jalur lintas arah kabupaten sebelah. Dengan niat mampir ke warung kopi di rest area tempo hari.
Karena belum terlalu hapal, maka Bang Sad mengira-ngira perlu waktu nyetir 20 menit menuju ke sana. Karena berpatokan saat malam itu dia pulang dari rest area itu ke kostnya juga 20 menitan.
Sudah 40 menit bermotor, namun di sebelah kiri tak ada tanda-tanda adanya Rest Area. Yang ada hanya sedikit perkampugan, deretan toko kelontong, kemudian kebun sawit, kebun tak terurus atau tanah kosong. Bang Sad putar balik. Kini dia fokus di kanan jalan. Juga tak berhasil menemukan Rest Area itu. Padahal dia yakin seharusnya setelah menyetir 20 menitan, rest area itu ada di sebelah kanan.
Karena penasaran, Bang Sad putar balik sekali lagi, namun hasilnya nihil. Rest Area itu tidak ditemukan. Yang ketemu justru seperti ada suatu jalan masuk, kemudian tanah lapang berumput tinggi, beberapa bangunan kios terbengkalai dan plang lusuh bertulis L*mb*r. Ada tumpukan ban motor bekas ditumbuhi lumut. Di sampingnya ada mobil rongsok, sepertinya bekas kecekalaan, hampir tak berbentuk dan ditumbuhi belukar. Karena putus asa, akhirnya pulang balik ke B.
Kebenaran Terungkap.
Seminggu kemudian Bang Sad duduk-duduk di pos satpam kantornya. Ngobrol dengan pak satpam, Bang Kar namanya.
"Bang, aku kemarin dulu pernah ngopi enak di rest area, dari kantor kita ini 20 menitan lah motoran ke jalur lintas arah S."
"Rest Area mano tu pak?"
"Itu, kalo dari sini sebelah kiri, 20 menitan lah naik motor ke sana. Kemarin ini aku ke sana lagi, tapi gak ketemu bang rest areanya. Padahal aku sudah putar balik sampai dua kali cari gak ketemu juga. Seingatku tempatnya lumayan luas walau gak besar-besar amat, gak mungkin kelewat."
"Pak, kami ni enggak sekali dua dengar pengalaman aneh seperti ini. Jangan-jangan ..."
"Jangan-jangan apa bang?"
"Itu apa di sekitar turunan yang keempat dari sini pak?"
"Wah, gak itung aku berapa turunan naiknya bang."
"Kalo misalnya benar habis turunan keempat itu pak... ". Bang Kar menghisap rokoknya dalam-dalam. Aku menunggu.
"Gini pak, kalo tak salah aku ingat 8 tahun yang lalu tu ado kecelakaan lalu lintas di situ, persis di depan rest area itu. Korbannya tu bapaknyo, istrinyo dan tiga anaknyo, orang Jakarta pak. Kata koran, mobil korban itu adalah rombongan lamaran calon penganten. Ceritanya si bapak melamarkan anak laki-lakinya, katanya umur 27 tahun. Nah yang dilamar tu perempuan dari J pak, kecamatan terpencil di selatan sana, 4 jam dari sini, jalan berkelok naik turun. Mungkin karena kecapekan, rombongan itu kecelakaan waktu balik ke Jakarta."
"Nah, entah apolah sebabnya, lamo-lamo rest area itu ditinggal para pedagang yang mangkal, lama-lama sepi, kemudian kosong terbengkalai sampai sekarang. Kata berita di koran, keluarga korban itu dimakamkan di Menteng Pulo Jakarta pak."
Merinding.
Komentar