Pesona Dieng Plateau

Sawah di tepi jalan Raya Dieng
Pagi ini ingin lihat dataran tinggi Dieng. Berangkat dari alun-alun Wonosobo ke arah utara melalui Jalan Raya Dieng. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan sawah hijau bertingkat-tingkat seperti kue lapis. Benarlah kata teman, Dieng tak kalah pesonanya dibanding  dengan kawasan  Blue Mountain, Australia. Jika Blue Mountain membiaskan warna kebiruan karena uap daun-daun eucaliptus, maka Dieng memantulkan warna kehijauan yang segar. Jadi perjalanan menanjak ini terbayar impas sudah.

Konon Dieng berasal dari kata Di-Hyang, artinya tempat bersemayam para Dewa. Udara sangat sejuk kadang menggigil kalau ada angin, bahkan pada musim kemarau anda akan menemukan embun di rumput-rumput yang mengkristal menjadi es karena beku. 



Bulan Desember ini Dieng selalu diguyur hujan pada siang hari. Beruntung ketika sampai di Telaga Warna, cuaca masih bersahabat. Telaga warna memantulkan warna indah kehijauan karena mengandung sulfur. Meski indah tak satupun ikan dapat hidup di sini. Sementara di sisi lain danau memiliki warna berbeda agak kehitaman memantulkan bayang-bayang pohon disekitarnya. Di sisi timur telaga Warna, ada telaga Pengilon, yang konon memiliki air sebening cermin sehingga bisa untuk ngilo (bercermin). Namun sayang di tepiannya ditumbuhi ilalang sehingga susah untuk diambil gambarnya.

Telaga Warna
Di sisi barat Telaga Warna banyak terdapat Gua yang digunakan untuk bersemadi misalnya gua Jaran dan gua Semar. Dan jangan heran di sini tercium bau  favorit kaum Lelembut -kemenyan- di mana-mana. Di dekat telaga Warna, dibangun Dieng Plateau Theatre, di sini kita dapat menikmati film dokumenter Dieng.

Mengarah ke barat, kita bisa mengunjungi Kawah Sikidang. Kawah ini selalu menggelegak, mendidih dan menguapkan air bercampur asap belerang, sehingga bau sangit khas sulfur tercium dimana-mana. Sementara turis lokal menuju kawah ini dengan baju berlapis dan celana panjang Jeans plus masker hidung, kulihat dua bule cuma pakai celana pendek dan T-Shirt  kelihatan pusernya melenggang santai tak kedinginan. Dari sini kita bisa tahu, mengapa kita  pernah dijajah begitu lama.


Anda juga dapat menikmati candi bercorak Hindu, yang diberi nama tokoh-tokoh pewayangan, Candi Gatotkaca, candi Arjuna. Jadi benarlah analisa para ahli sejarah yang menyatakan bahwa Dataran Tinggi Dieng ini dulunya adalah pusat peribadatan di jaman kejayaan kerajaan Hindu di Jawa Tengah.


Selain itu anda juga akan melihat keunikan yaitu fenomena bocah berambut gimbal. Anak-anak ini entah kenapa ada bagian rambutnya yang saling menyatu susah disisir sehingga membentuk semacam 'tanduk'. Untuk mengguntingnya akan diadakan semacam selamatan.


Sorenya kembali ke Wonosobo, mampir ke gardu Pandang. Di sini anda dapat menikmati panorama perbukitan Dieng dari atas. Tampak asri hijau diselingi atap rumah penduduk. Waktu terbaik menikmati gardu pandang adalah pagi hari, akan tampak matahari terbit di sela-sela gunung Sindoro.


Komentar

WK-Wonosobo mengatakan…
Puncak suhu dingin biasanya terjadi di musim kemarau pada akhir Juli hingga awal Agustus dimana embun yang menempel di daun-daun dan rerumputan akan membeku menjadi es. Es inilah yang mematikan tumbuh-tumbuhan di sana. Fenomena ini oleh penduduk lokal disebut EMBUN UPAS (embun berbisa). Embun upas dapat mengakibatkan kerugian bernilai milyaran kepada para petani hanya dalam waktu satu malam saja. Pada hari-hari biasa suhu terdingin Dieng pada malam hari adalah 11 derajat celcius.
Tunggulwulung mengatakan…
wah untung kesananya ga di bulan itu..

Postingan Populer