Yang terakhir kuingat adalah aku terjengkang di sebuah bale-bale bambu di pinggir kebun Murbei lereng gunung Salak. Tiba-tiba pandanganku kabur, semua mendadak temaram. Masih sempat kudengar teman-temanku memanggil, aku ingin menjawabnya tapi lidahku seperti kena lem. Aku berusaha keras menjawab dan meraih tapi seperti ada sekat yang memisahkan kami. Aku seperti mengambang di keremangan. Apakah aku sudah mati? Ini pasti gara-gara tas tak tahu diri itu. Nanti kuceritakan kenapa sampai terjungkal di bale-bale rusak ini?
***
Setelah beberapa kali urung mendaki Gunung Salak, kini akhirnya kesampaian juga. Sabtu Kliwon yang bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2011, berenam kami sok tahu mencoba merasakan keindahan jalur pendakian Salak. Gunung dengan tinggi 'cuma' 2.211 mdpl ini terletak di perbatasan dua praja, Bogor di utara dan Sukabumi di selatan. Kata 'cuma' itulah yang nantinya menipuku. Awan Cumulus menggantung malas di tenggara sana, sepertinya mau jatuh saja. "Hermes giringlah awan itu minggir ke timur, kau pernah berjanji padaku akan melindungi kaum pengelana," bisikku pasrah.
Pendakian dimulai 08.30 dari pos Pasir Reungit ke arah Kawah Ratu dan dilanjutkan ke Puncak Salak I. Meski lebih jauh dibanding jika lewat jalur Cangkuang, tapi tak mengapa. Jalan masuk ke Pasir Reungit dari arah gunung Bunder sudah beraspal mulus, rindang dengan lebatnya daun Agathis dammara yang berbagi tempat dengan Caliandra calothrysus, hijau dan teduh.
Setelah membayar retribusi di pos Pasir Reungit, berenam segera memasuki jalan makadam. Pal penunjuk jarak tertulis angka 87, sementara kawah ratu menurut pamflet berada di pal 51 artinya 3.600 meter. Sebenarnya tak seberapa jauh, namun dengan syarat jalan tidak menanjak dan tidak ada cariel sialan yang nongkrong di pundakmu, berita buruknya adalah kami telah melanggar kedua syarat itu.
Di kiri kanan jalan setapak ke Kawah Ratu ini sangat hijau khas hutan bawah. Dan lihatlah daun lentik Suplir (Adiantum sp) yang hijau muda itu. Jika di dunia flora diadakan lomba keberadaban, aku berani bertaruh tumbuhan Paku-pakuan adalah juaranya. Betapa tidak. Jika tumbuhan lain tak tahu malu memamerkan alat kelaminnya-apalagi si jorok Bunga Bangkai yang menegakkannya bahkan di depan ibu-ibu, sungguh tak tahu diri!- maka paku-pakuan yang santun ini rapat-rapat menyembunyikan sporanya di bawah daun.
Maka masuk akal bila ahli taksonomi mengelompokkannya sebagai Cryptogamae berasal dari Crypto berarti tersembunyi dan Gamae artinya kawin (Taksonomi Tumbuhan, Gadjah Mada University Press, Bab 5). Tumbuhan santun dari divisi Pterydophita inilah yang mengiringku sepanjang jalur pendakian. Hijau muda, segar dan lihatlah pucuk-pucuknya yang masih menggulung malu-malu. Setitik embun terperangkap di bagian bawah pucuk itu bias tertimpa sinar surya pagi maka ada pelangi kecil berbentuk bintang di situ.
Setelah mendaki 3 jam kami istirahat sejenak sebelum kawah mati, terdapat dua sungai kecil yang sebelah kiri bisa diminum tapi yang kanan bau pesing kena belerang. Yang kiri sedingin es dan sebening kristal. Benar kawan, tak sedang bercanda aku, bahkan batu hitam kecilpun terlihat jelas meski nyungsep di dasarnya. Siapapun yang melintas pasti tergoda nyebur untuk merasakan belaian lembut aliran airnya. Bahkan serangga onggong-onggong dengan kaki jangkungnya sedang asyik berselancar maju mundur di atas air.
Tak jauh dari situ terdapat plang penunjuk ke arah Kawah Ratu dan peringatan konsentrasi gas berbahaya. Perjalanan dilanjutkan dengan melintas kawah mati menuju kawah ratu. Bau sangit belerang sangat terasa, pedih di mata apalagi angin meniup tak henti. Usahakan tak lebih dari 15 menit kau berada di kawasan ini. Secepatnya bergerak ke arah selatan untuk mencapai jalur pandakian selanjutnya pal 44.
Tak jauh dari situ terdapat plang penunjuk ke arah Kawah Ratu dan peringatan konsentrasi gas berbahaya. Perjalanan dilanjutkan dengan melintas kawah mati menuju kawah ratu. Bau sangit belerang sangat terasa, pedih di mata apalagi angin meniup tak henti. Usahakan tak lebih dari 15 menit kau berada di kawasan ini. Secepatnya bergerak ke arah selatan untuk mencapai jalur pandakian selanjutnya pal 44.
Kini jalan mulai menanjak, karena sudah tengah hari kami putuskan makan siang di pal 38. Mang Odja sudah menyiapkan nasi putih dengan lauk sambal teri kacang. Wah sangat enak disantap di atas lembaran daun pisang yang kini menjadi meja makan kami. Bersendok daun pandan nan wangi. Makan seperti orang kalap sambil mendengar kecipak air kali tak jauh dari situ. Luar biasa kawan, kau akan selalu kangen dengan saat-saat seperti itu.
Di sini banyak pohon pisang (Musa sp), dan rupanya sedang musimnya, tapi buahnya tak lebih besar dari telunjuk. Sebenarnya cukup manis rasanya namun sayang bijinya banyak sekali. Maka tak heran hanya kaum monyet yang menyukai pisang ini. Pantas Owa hitam (Hybelates moloch) di atas sana tak henti mengawasi kami yang merampas jatahnya. "Dasar manusia rakus, tahu juga bijinya banyak eh dimakan juga," begitu mungkin gerutunya. Perjalanan dilanjutkan melewati Helipad dan Shelter kemudian masuk simpang Bajuri di pal 23.
Sudah terbersit kebahagiaan sampai di sini, karena aku pikir Puncak Salak yang kami idamkan itu tinggal 22 pal lagi. Toh sejauh ini kami telah melangkah 65 pal dan kondisi fisik kami masih baik-baik saja, maka angka 22 itu seperti hal sepele saja bagi kami. Tetapi alangkah kagetnya, ternyata setelah belok kiri pal mulai lagi dari angka 1. Kupelototi pal itu berharap pihak Taman Nasional melakukan kesalahan seharusnya angka 21, tetapi angkanya tak mau berubah dan tak ada bekas-bekas angka yang terhapus di situ. Jelas-jelas tertulis di pal itu angka berwarna putih dengan berdasar hijau tua angka sialan ini, 1.
Rupanya pal 22 itu adalah jarak ke pos Cangkuang apabila akan turun ke arah sana. Dasar sial. Kuberitahu kawan disinilah sebenarnya wajah congkak Nyi Salak itu mulai menampakkan aselinya.
"Seingatku puncak ada di pal 31 jadi sedikit lagi," Seru mang Odja membesarkan hati.
"Iya tanggung, kan sudah 65 pal, lanjut saja," sahut yang lain sepakat seperti suara burung.
Baru sampai di pal 8 trek sudah mulai menggila. Tak jarang harus bergantungan di akar atau batu. Struktur tanahnya gembur campuran humus dan lumpur. Kalau tak hati-hati bisa tercebur lumpur selutut. Gak lucu kan kalau sandalmu tertinggal di dalam lumpur itu?. Untungnya trip kali ini aku memakai sepatu boot seperti safety shoes jawatan kebersihan kota. Jadi sangat tertolong bila harus kecemplung lumpur lengket dan dingin itu.
Trek ini sangat pelit, tak sedikitpun memberi kelegaan berjalan di tanah agak mendatar. Semuanya menanjak sampai sesekali harus menjilat lutut. Karena haus dan malas membuka cariel, kucabut tangkai daun Begonia yang banyak tumbuh di kiri-kanan jalur ini. Begonia adalah semacam herbal yang dapat dimakan. Daunnya hijau muda, lebih lebar dari telapak orang dewasa berbentuk seperti kaki bebek. Bagian yang mudah dimakan adalah tangkai daunnya. Terlebih dulu kupas kulit luarnya, rasanya segar kecut mirip Belimbing Wuluh. Lumayan memberi rasa segar dan sedikit kenyang.
Perjalanan dilanjutkan dan sampai pal 23, terseok, sampai di sini kujamin kura-kura berjalan lebih cepat dari kami. Sungguh nasib, salah satu temanku terjatuh dan cedera engkel kanannya. Terpaksa istrirahat dulu dan diurut dengan menggunakan buah Pinding. Tumbuhannya seperti lengkuas, bunganya muncul di atas tanah berwarna putih dengan merah muda di pinggir-pinggirnya. Kalau dimakan buahnya seperti jambu biji yang belum terlalu matang. Antara sepat dan gurih di belakang lidah.
Nafasku megap-megap berdiripun sudah tak tegap, dan jangan kau tanya, semangat pun sudah tiarap. Tetapi demi mengingat puncak di pal 31 kami teruskan perjalanan. Berarti kurang 8 pal lagi. Seketika ada semangat baru. Tetapi alangkah kagetnya setelah mendapati pal 31 tak sedikitpun terdapat tanda-tanda puncak. Dan kabut mulai turun. Dingin dan di sebelah atas kudengar kemelitik air hujan menimpa tepian daun-daun.
Aduh jangan hujan dulu tetapi siapa yang bisa menolak ini semua? Tetapi sungguh ajaib sepertinya Hermes menepati janjinya. Sepertinya awan bersedia menggantung lebih lama lagi. Trek tambah sombong kali ini. Dia menawarkan tali untuk kami bergantungan. Dia sudah berada di atas angin, mengejek kami yang kelelahan. "Pulang sana, cuci kaki dan minum susu," itu mungkin yang dikatakannya.
Sesekali terbersit keinginan apakah diteruskan atau turun saja. Pal 41 terlewati tapi tak juga puncak kami gapai. Hari mulai gelap kami siapkan lampu senter. Serangga malam mulai mengerubuti lingkaran sinar lampu senter.
Gelap serasa datang lebih cepat dari seharusnya. Pundak lecet demi menahan cariel. Kukuat-kuatkan terus mendaki mesti lutut goyah. Badan sakit semua, setengah mati. Saat seperti ini aku ingat lagu Abide with me yang ditulis seorang Anglikan taat Henry Francis Lyte ketika tahun 1847 dia terbaring sekarat karena tuberkolusis menggerogoti paru-parunya, kemudian secara ajaib sembuh 3 minggu setelah hymne syahdunya itu selesai. Sedikit dari syairnya yang kuingat:
who like Thyself, my guide and stay can be?
through cloud and sunshine, Lord abide with me
i fear no foe, with thee at hand to bless
....
in life in death oh Lord abide with me
Ya Tuhan dalam hidup atau matiku tinggalah sertaku.
Setelah mendaki seperti keong, akhirnya apa yang diidamkan datang juga, tepat 19.30 kami sampai di pal 50. Artinya perlu 11 jam untuk menaikinya. Itulah puncak Salak I tak kurang dari 2.211 mdpl tingginya. Memang benar kata pujangga, tak ada gunung yang dapat ditaklukkan manusia, paling hanya meniduri puncaknya saja.
Hari ini bulan masih purnama mesti telah lewat satu hari. Tapi lihatlah di atas sana, bulan bulat besar dan sangat terang. Sinar putihnya menerobos daun-daun yang kini tampak seperti siluet. Malam ini seperti di Halimun tempo hari, mang Odja memasak nasi liwet teri saktinya. Hari sudah malam dan terlalu dingin di Puncak sini. Akhirnya tertidur di saung dekat makam eyang Salak.
***
Pagi di puncak salak |
Sangat enak jalanan menurun ini mesti didominasi akar malang melintang tak karuan dan kadang batang pohon besar seenaknya melintang di tengah trek, tapi biarlah. Akhirnya setelah berjalan menuruni punggungan Salak selama 4 jam sampailah kami di hutan yang sudah diselingi ladang penduduk. Sayup-sayup mulai terdengar suara motor. Ah, peradaban aku bertemu denganmu lagi. Ternyata jalan menuju jalan beraspal masih jauh.
Akhirnya karena kaki sudah ngap memakai sepatu boot yang tak ada ventilasinya kuputuskan ganti sandal jepit. Dan lagi kaos kakiku setengah basah jadi kurang nyaman dipakai. Boot dan kaos kaki kutaruh di cariel bagian atas, dan sialnya menambah berat. Kaki sudah tak mau kompromi, achiles gemetar, sepertinya mau berhenti sampai di sini saja sementara jalan aspal (katanya di situ ada warung) masih 1 jam lagi.
Kulihat di kejauhan ada bale-bale bambu dekat kebun Murbei. Ingin banget cepat-cepat sampai ke situ tapi apadaya kaki melangkah seperti bayi belajar jalan. Sementara cariel dengan sepatu boot itu mengganggu saja di pundak. Setelah sampai dekat bale-bale maksud hati hendak menurunkan cariel sialan ini eh aku malah kejengkang, nyungsep di bale-bale itu. Rupanya aku hampir pingsan. Sempat gelap beberapa menit namun untunglah bau tengik nan aduhai kaos kaki dalam boot itulah yang menyelamatkanku.
Komentar
Pak Tunggulwulung memang lihai bercerita ckckck
Bagian yg terakhir bener2 kocak pak..untung ada kaos kaki ya,xixixi
Pak Djaenal: tengiknya ampun-ampunan pak hahaha
next.. selamet??
"Menyusuri punggung mbah selamet"...