Minggu, 24 April 2022

Empal Gentong Kuliner Enak Ga Bikin Dompet Bolong

thanks for reading,

Ilustrasi
"Gentongnya mana mba?"
"Di depan pak, yang ada asap-asap itu."
    Begitu percakapan saya dengan mbaknya pelayan salah satu rumah makan di sepanjang Jalan Tuparev Cirebon. Saya pikir, empal gentong disajikan bersama gentongnya, ternyata di mangkok. Mendengar kata empal, yang terbayang adalah olahan daging sapi berukuran tiga jari orang dewasa, dimasak agak kering, dan kadang diberi parutan kelapa. Ternyata empal gentong adalah sejenis gulai sapi, tentu berkuah santan, warna kuning kunyit, dihias irisan daun kucai dan sesuai namanya dimasak di dalam gentong tanah liat. Yang unik adalah ditabur cabai kering krasak, tidak terlalu lembut seperti bubuk cabai mie instan. Cirebon punya cara.

    Secara sejarah Cirebon memang berdiri di tengah-tengah pengaruh gravitasi budaya Jawa Tengah dan Sunda. Maka tak heran masyarakatnya memiliki irisan adat keduanya. Dan irisan itu membentuk ciri khas tersendiri, mandiri, dan diwariskan turun temurun seperti empal gentong ini.

    Mumpung di Cirebon, kita coba satu-satu warung empal gentong yang katanya legend. Pilihan pertama karena masuk Cirebon via exit Plumbon, maka ketemu Empal Gentong H. A**d. Pelayanan cepat, ukuran porsi cukup (tidak banyak juga), harga ramah, daging empuk, rasa gurih, kunyitnya cukup kuat, dan ada sedikit rasa smokey. Tempat duduk luas.
    
    Esoknya mencoba empal gentong lain di jalan Slamet Riyadi. Empal Gentong Kr***k. Pelayanan cepat, ukuran porsi cukup, harga ramah, daging empuk, rasa gurih, kunyit tak terlalu menyengat, tempat duduk lumayan luas, ruangan lebih bersih dan nyaman dari yang pertama.
    
    Nah sorenya mencoba di tempat lain lagi, empal gentong bu N*r, di daerah Kejaksan. Tempatnya lebih kecil, bumbunya lebih kompleks dibanding dua di atas. Masing-masing empal gentong di tiga warung itu memiliki keunggulannya sendiri-sendiri.
    
    Kata mbaknya yang masak, empal gentong terbuat dari daging sapi, santan kelapa, bawang merah, bawang putih, kunyit, cabe, sereh, jahe, lengkuas, kemiri, daun salam, daun kucai, daun bawang, garam, gula merah.  bawang merah goreng dan kayu manis.  Mau coba? 





Jumat, 22 April 2022

Penunggu Ruang Bendahara

thanks for reading,

 
Ilustrasi: dari Shuttersctok

   
Bang Sad ditugaskan ke kota Kali Kebak, berjarak tiga jam lebih berkendara dari kantornya di Kabupaten B. Bersama Bang Dijey, rabu itu pagi-pagi benar mereka berangkat. Karena jauh, tak mungkin bermotor, maka Isuzu Panther gaek yang dibawa. Waktu itu menjelang lebaran.

    Ini pertama kalinya bang Sad ke sana. Kalo Bang Dijey sudah beberapa kali ke situ. Sepanjang jalan melewati bukit lembah, ladang, tak jarang jalan berkelok dan kirinya jurang. Dasar jurang itu dialiri sungai besar, Batang Merbayu. Kata orang sungai ini dihuni ikan Semah, bentuknya mirip ikan siluman yang di cibulan kuningan. Maka tak heran di beberapa tempat ada pemancing menjajakan hasil pancingannya. Ikan Semah sangat cocok digulai, sisiknya empuk.

    Pemandangan menuju Kali Kebak sangat indah, ada tebing, lamtoro disela kebun kopi, sawah dan danau. Di pinggir danau ini orang menanaminya dengan padi. Padi tradisional yang baru bisa dipanen di usia 7 bulan. Beras Payo sebutannya, teksturnya kemepyar namun enak. Ini adalah paduan pemandangan sawah dan danau terindah yang pernah Bang Sad saksikan, tak salah orang menyebut daerah ini dengan sekepal tanah dari surga.

    Sekira jam 09.25, Bang Sad sudah sampai di Kantor Pemkot Kali Kebak untuk koordinasi penyuluhan dengan bagian protokoler. Kemudian dilanjut ke Pemda Kesenti tak jauh dari situ. Dulu sebelum pemecahan, kedua wilayah itu adalah satu kabupaten. Tak dinyana sudah jam setengah satu siang, maka Bang Dijey mengajak makan di warung otentik Dano Kaco seberang Polres. Bang Sad heran, ini pertama kali mencoba gulai kemumu, oseng pensi, gaya masakannya oily, semua asing di lidah tapi ternyata ngangeni.

    Jam dua siang, Bang Sad sudah berapa di kantor cabang kantornya. Sekalian mau bertemu pimpinan kantor cabang, Mang A. Ternyata Mang A sedang menghadiri undangan dari Gapensi. Di sinilah cerita dimulai.

    Bang Sad dan Bang Dijey masuk ke ruangan tengah, duduk berseberangan, diantara mereka terdapat aisle menuju pintu masuk ruang bendaharawan kantor cabang. Mereka sedang mengerjakan konsep undangan penyuluhan dan bahan slide in house training.

    Setelah corat-coret konsep, pulpen Bang Sad macet. Sementara Bang Dijey baru sadar pulpennya ketinggalan di kantor pemda tadi. Bersamaan itu pula tetiba Bendaharawan kantor cabang lewat di depan mereka, namun tidak senyum tidak menyapa tidak salam, berwajah poker, tahu-tahu melewati mereka dan berjalan masuk menuju ruang bendahara.

    Kompak Bang Sad dan Bang Dijey memanggil, "Rid, riid." Karena yang dipanggil tak menyahut,"Faarriiiiiiiid...!" Maksudnya mau pinjam pulpen. Tapi bendahara itu tak mendengarkan, langsung masuk ruangan, tampak punggung saja.

    Dari belakang, Bang Sad melihat bendahara itu masuk ruangan, memakai baju biru lengan panjang persis seperti dirinya. Lengan baju tangan kirinya dilipat, maka kelihatanlah kilap gelang metal jam tangan melingkar di pergelangan tangan kirinya.

    Karena kesal, maka Bang Sad bangkit dari tempat duduk dan menuju ruang bendahara itu. Rupanya Bang Dijey juga kesal, maka dia menyusul masuk ruangan bendahara juga. Pengen rasanya menjewer bendahara sok itu.

    Betapa bingung Bang Sad, apalagi Bang Dijey, ternyata di ruangan itu tidak ada siapa-siapa. Padahal tadi yakin seyakin-yakinnya, mereka berdua melihat bendahara itu melenggang masuk ruangan itu. Sampai-sampai mereka melongok-longok ke bawah meja, balik lemari, balik pintu, dan didapati ternyata tidak ada orang selain mereka berdua. Ruangan itu cuma berukuran 2x3 meter, hanya memiliki satu pintu masuk, bahkan jendelapun tidak ada. Maka satu-satunya cara keluar masuk ya dari pintu itu.

    "Kemana ni anak, tadi kan masuk ke sini," selidik Bang Dijey terheran. "Iya, aneh bang, tadi kan dia masuk ke ruangan ini, malah sempat kulihat tangan kirinya yang bergelang jam itu melintas di depan hidungku, kok jadi hilang" sahut Bang Sad. Maka mereka berdua sambil terbingung berjalan keluar dari ruangan itu. Dan betapa kaget, ternyata si bendaharawan itu ada di konter pelayanan di ruangan depan sana. Lah tadi yang masuk itu siaapaaaaaa.

bersambung.










Minggu, 17 April 2022

Magnificat Teks Vulgata Dalam Karya Pramoedya

thanks for reading,

Novel Pram acap diasosiasikan dengan aliran kiri. Dalam Rumah Kaca, Pram memang menulis sepak terjang tokoh-tokoh kiri pra kemerdekaan, seperti Mas Marco Kartodikromo dan Semaun. Mas Marco diriwayatkan sebagai penyebar jargon sama rata sama rasa. Semaun, aktivis SI Merah diceritakan sebagai penggerak mogok kaum buruh pribumi untuk melawan Pemerintah Hindia Belanda. Namun secara seimbang, kiprah Mas Tjokro melalui Syarikat Islam juga dikisahkan. Ditambah lagi secara mengejutkan Pram menyelipkan kidung pujian iman Kristiani persis di bagian outro novel ini.

Rumah Kaca, yang adalah novel keempat dalam tetralogi pulau buru, di halaman terakhir, Jacques Pangemanann si penutur aku, petinggi Algemene Secretarie Hindia Belanda yang berperan mengasingkan perintis pers advokasi pribumi-R.M. Tirto Adhi Surjo (Minke)- ke Maluku, menulis surat kepada Nyai Ontosoroh:

Kepada Madame Sanikem Le Bouch,

    Tak perlu kiranya aku menjelaskan tentang yang selebihnya yang telah kulakukan itu; Madame sebagai wanita yang arif bijaksana dapat mengerti semuanya. Tentang kenyataan-kenyataannya cukuplah semua tertera dalam berkas catatanku Rumah Kaca ini, yang dengan rela kupersembahkan padamu. Madamelah hakimku. Hukuman aku terima, Madame.
    Bersama ini aku serahkan juga padamu naskah-naskah yang memang menjadi hakmu, tulisan R.M. Minke, anakmu kekasih. Terserah bagaimana Madame menggunakan dan merawatnya.
Deposuit Potentes de Sede et Exaltavit Humiles.

***
(Rumah Kaca, hal 646, ISBN 978 979 97312 6 5)

    Kalimat terakhir adalah bagian dari Magnificat, nyanyian sukacita Bunda Maria ketika menerima warta dari Malaikat, tepatnya di Kitab Lukas 1 ayat 52. Saat itu bangsa Israel dijajah oleh pemerintahan Romawi. Pram mengambil kalimat itu dari Vulgata, terjemahan Alkitab ke dalam bahasa latin dari bahasa Yunani Koine oleh Santo Jerome. Ucapan Sukacita Bunda Maria ini umum didaraskan dalam liturgi ibadah Kristiani, misalnya pada Masa Adven (minggu-minggu yang mendahului hari Natal). Yang artinya: Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan  meninggikan orang-orang yang rendah.
    Masihkan cap kiri pada novel ini tak bisa dihapus? Adil sejak dari pikiran.

Sabtu, 09 April 2022

KISAH MENCEKAM! REST AREA GHAIB

thanks for reading, 

ilustrasi
Cerita ini saya peroleh dari pengalaman seorang teman sebut aja Bang Sad, 
Semula dia bekerja dan tinggal di Jakarta, namun kemudian oleh kantornya dipindah tugaskan ke kabupaten B di Sumatera sana.
Inilah pertama kalinya dia bekerja di luar pulau. Dari Jakarta, setelah turun dengan pesawat di bandara ST perlu 6 jam perjalanan darat menuju B.
Singkat cerita Bang Sad sudah sampai di B, kotanya sepi, tidak ada Mall apalagi XXI. 
Yang cukup ramai hanya jalur lintas Sumatera dan area perkantoran saja, agak ke dalam perkampungan sepi dan beberapa ruas jalan saja yang ada lampunya. Lebih dari itu hanya kebun sawit ujung ke ujung.

Gak kerasa, Bang Sad sudah sebulan di B.
Sebagai orang baru penasaran rasanya ingin menjelajah kabupaten-kabupaten sekitar.
Sabtu siang ini setir motor diarahkan ke Kabupaten S berjarak sekitar 75 km dari B.
Sendirian nyetir, karena kawan-kawan kantor rata-rata bukan orang sini, jadi sabtu-minggu mereka pulang ke rumahnya masing-masing di kabupaten atau kota sekitar.

Jalanan Sumatera luas dan sepi, tidak sama dengan Jakarta yang macet.
Selepas kampung-kampung, mulai jarang rumah, kiri-kanan jalan hanya semak perdu, hutan, kebun sawit atau kadang-kadang tanah kosong berlempung.
Sesekali biawak atau babi hutan seenaknya menyeberang jalan.

Setelah satu jam bermotor, sampailah Bang Sad di pinggiran kabupaten S.
Mencoba makanan terkenal di sini, pindang ikan Tapah. Pindang adalah gaya masakan berkuah Sumatera (tidak sama dengan arti ikan Pindang di Jawa Timur). Kata makwo penjualnya, ikan Tapah penghuni Batang A berbentuk mirip ikan Patin berukuran besar, giginya banyak, konon ikan dewasa bisa makan manusia.
Sampai di sini semua berjalan normal-normal saja.

Setelah puas jalan-jalan di S, selepas magrib, Bang Sad berniat balik ke B. Sengaja tidak makan sore dulu karena sesiangan tadi banyak jajan, jadi perut masih terasa kenyang. Hari mulai gelap. Disinilah ceritanya dimulai.

Sekira 45 menit bermotor sampailah bang Sad di jalanan yang kiri-kanannya perdu atau hutan semak, sepi lagi gelap. Agak mendung pula. Maklum walau sudah puluhan tahun Republik ini memproklamasikan kemerdekaannya, listrik di sini masih sering padam, apalagi hari sabtu atau minggu.

Karena kurang penerangan, motor Bang Sad seperti melindas gundukan bergerak. Crukkk duk.
Motor oleng. Beberapa belas meter kemudian bang Sad sadar ban motornya mengempes.
Biawak sial, katanya.

Tengok kiri-kanan tidak ada siapa-siapa. Jalanan sepi. Lampu motornya jadi satu-satunya penerang. Beberapa serangga terbang mendekati bendang lampu motornya.
Apa boleh buat, sambil misuh-misuh, Bang Sad menuntun motornya.

Tukang tambal ban, dimana kau di tengah antah berantah begini. Sudah lima belas menit Bang Sad menuntun motornya, namun belum ada tanda-tanda mendekati kampung. Agak jauh kelihatan kelip-kelip deretan lampu entah kampung entah toko. Tak ambil tempo, Bang Sad mempercepat menuntun motornya ke situ.

"Rest Area L". Demi melihat plang di kanan jalan itu, Bang Sad lega. Rupanya semacam rest area, tidak terlalu luas, ada tukang bakso, tukang kopi, nasi lemak, gulai tekuyung. Dan yang paling penting ada tukang tambal ban.

Sambil ngopi, Bang Sad ngobrol dengan pedagangnya. Dia cerita kalo baru sebulan ini di Sumatera. Tukang kopinya bapak-bapak setengah baya, memakai sarung hitam dan lacak berwarna hitam. Orangnya ramah. Bapak itu bercerita juga bahwa dia sudah 8 tahun berdagang di rest area ini. Kopinya khusus didatangkan dari dataran tinggi J sebuah kecamatan terpencil di selatan sana, walau robusta namun ada kecutnya. Bang Sad heran, baru pertama ini mengenal robusta yang ada sensasi asamnya. Enak, katanya.

Tiba-tiba hujan turun lebat. "Cilaka", katanya. "Meneduh bae di sini dulu mas, takutnya jalan licin", Kata bapak penjual kopi sambil melayani pembeli lain. Pembeli lain itu, pemuda, memakai lacak hitam juga seperti bapak penjual kopi, umurnya sekira 27 tahunan, seumuran Bang Sad. Pembeli itu minta dibungkuskan kopinya, jadi tidak ikut ngobrol di warung ini. Bang Sad merasa aneh, karena antara bapak penjual kopi dan pembeli itu tidak bicara apa-apa, sepertinya sudah kenal lama, cuma datang, dikasih kopi, langsung bayar, trus pergi. 

Bapak penjual kopi itu juga bercerita bahwa dia tinggal di kampung di belakang rest area ini, bersama istri, anak kedua dan si bungsu, sedang anak pertamanya merantau ke Jakarta. "Dimana di Jakartanya pak?" tanya Bang Sad. "Menteng Pulo, sudah dua tahun ini belum pulang ke sini".

Bang Sad antara senang dan sedih. Senang karena merasa relate dengan bapak penjual kopi yang punya anak di Jakarta, sedih karena justru orang sini merantau ke Jakarta, sementara dia sendiri yang berasal dari Jakarta malah bekerja di kabupaten ini. Seperti kebolak-balik.

Obrolan mengalir ngalor-ngidul, Bang Sad kaget ketika melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 10 malam. Rest area yang tadinya ada barang tiga empat mobil dan belasan motor, kini tinggal dia dan satu motor di ujung, sepi. Bang Sad merogoh dompetnya dan pamit.

Bapak penjual kopi menawari Bang Sad supaya menginap saja di rumahnya, karena agak gerimis, baru besok pagi melanjutkan perjalanan ke B, toh besok hari minggu, tak perlu tergesa. 
Bang Sad memutuskan tetap pulang ke B, dan berterima kasih ke bapak penjual kopi yang sudah bermurah hati.

"Terima kasih pak, semoga bapak laris jualannya."
"Iya mas, hati-hati di jalan, kalau kapan-kapan lewat, silahkan mampir lagi ke warung saya ini. Masnya baik, saya jadi ingat anak saya yang di Jakarta itu, seumuran sama mas."

Motor distarter, lampu dinyalakan, Bang Sad siap meluncur. Bang Sad memang tukang ngopi, jika ketemu yang cocok kadang lupa waktu, nongkrongnya kelamaan seperti tadi. Menuju pintu keluar rest area, Bang Sad mencium bau wangi, yang jelas bukan bau minyak wangi. Wanginya seperti bunga sedap malam. Manis dan musky. Baunya kuat dari arah belakang.

Sebelum keluar rest area, Bang Sad menoleh ke belakang. Warung bapak tadi tahu-tahu sudah gelap, kok cepat sekali beberesnya, mungkin bapak itu juga bergegas pulang, pikirnya.

Singkat cerita Bang Sad sudah sampai di B.

Waktu berlalu dengan cepatnya, kini Bang Sad sudah enam bulanan di B. Mulai hapal pojok-pojok kota tempat kuliner atau ngopi. Mendengar kata kopi, Bang Sad teringat rest area di pinggiran kabupaten B yang dia mampir lima bulan yang lalu, rasanya ingin ke sana lagi, tapi siang hari saja.

Masih dengan motor bebeknya, Bang Sad meluncur ke jalur lintas arah kabupaten sebelah. Dengan niat mampir ke warung kopi di rest area tempo hari.

Karena belum terlalu hapal, maka Bang Sad mengira-ngira perlu waktu nyetir 20 menit menuju ke sana. Karena berpatokan saat malam itu dia pulang dari rest area itu ke kostnya juga 20 menitan.

Sudah 40 menit bermotor, namun di sebelah kiri tak ada tanda-tanda adanya Rest Area. Yang ada hanya sedikit perkampugan, deretan toko kelontong, kemudian kebun sawit, kebun tak terurus atau tanah kosong. Bang Sad putar balik. Kini dia fokus di kanan jalan. Juga tak berhasil menemukan Rest Area itu. Padahal dia yakin seharusnya setelah menyetir 20 menitan, rest area itu ada di sebelah kanan.

Karena penasaran, Bang Sad putar balik sekali lagi, namun hasilnya nihil. Rest Area itu tidak ditemukan. Yang ketemu justru seperti ada suatu jalan masuk, kemudian tanah lapang berumput tinggi, beberapa bangunan kios terbengkalai dan plang lusuh bertulis L*mb*r. Ada tumpukan ban motor bekas ditumbuhi lumut. Di sampingnya ada mobil rongsok, sepertinya bekas kecekalaan, hampir tak berbentuk dan ditumbuhi belukar. Karena putus asa, akhirnya pulang balik ke B.

Kebenaran Terungkap.

Seminggu kemudian Bang Sad duduk-duduk di pos satpam kantornya. Ngobrol dengan pak satpam, Bang Kar namanya.

"Bang, aku kemarin dulu pernah ngopi enak di rest area, dari kantor kita ini 20 menitan lah motoran ke jalur lintas arah S."
"Rest Area mano tu pak?"
"Itu, kalo dari sini sebelah kiri, 20 menitan lah naik motor ke sana. Kemarin ini aku ke sana lagi, tapi gak ketemu bang rest areanya. Padahal aku sudah putar balik sampai dua kali cari gak ketemu juga. Seingatku tempatnya lumayan luas walau gak besar-besar amat, gak mungkin kelewat."
"Pak, kami ni enggak sekali dua dengar pengalaman aneh seperti ini. Jangan-jangan ..."
"Jangan-jangan apa bang?"
"Itu apa di sekitar turunan yang keempat dari sini pak?"
"Wah, gak itung aku berapa turunan naiknya bang."
"Kalo misalnya benar habis turunan keempat itu pak... ". Bang Kar menghisap rokoknya dalam-dalam. Aku menunggu.
"Gini pak, kalo tak salah aku ingat 8 tahun yang lalu tu ado kecelakaan lalu lintas di situ, persis di depan rest area itu. Korbannya tu bapaknyo, istrinyo dan tiga anaknyo, orang Jakarta pak. Kata koran, mobil korban itu adalah rombongan lamaran calon penganten. Ceritanya si bapak melamarkan anak laki-lakinya, katanya umur 27 tahun. Nah yang dilamar tu perempuan dari J pak, kecamatan terpencil di selatan sana, 4 jam dari sini, jalan berkelok naik turun. Mungkin karena kecapekan, rombongan itu kecelakaan waktu balik ke Jakarta."
"Nah, entah apolah sebabnya, lamo-lamo rest area itu ditinggal para pedagang yang mangkal, lama-lama sepi, kemudian kosong terbengkalai sampai sekarang. Kata berita di koran, keluarga korban itu dimakamkan di Menteng Pulo Jakarta pak."
Merinding.
 













What is Chongqing 1949 Shows Tell About

thanks for reading, Located at Chongqing theatre, PRC, a 360 degree pivotal stage, what is realy tell about? In 1949, when the new China had...