Sabtu ini, pagi buta sudah berada di terminal Guntur, Garut, belum apa-apa sudah kedinginan.
Angin dingin seperti tak menghormati jaket yang kupakai. Setelah makan kepagian dan sempat numpang tidur di warung sate, kami lanjut ke pertigaan kec Cisurupan yang ada plang Gunung Papandayan dengan angkot. Lalu perjalanan menuju Base Camp Papandayan menggunakan mobil bak terbuka angkutan sayur.
Sepanjang jalan menuju base camp, kiri kanan adalah rumah penduduk yang diselingi tanaman menjalar Labusiam, pisang dan lagi-lagi daun melambai yang selalu meledekku, Oloracea brassica sialan itu.
Tegal Alun |
Sepanjang jalan menuju base camp, kiri kanan adalah rumah penduduk yang diselingi tanaman menjalar Labusiam, pisang dan lagi-lagi daun melambai yang selalu meledekku, Oloracea brassica sialan itu.
Base Camp pagi itu masih sepi, semua warung tutup, hanya ada 1 orang staff Tourist Information yang berjaga. Kata penduduk setempat Papandayan berasal dari kata Panday artinya perajin tempa besi. Konon dulu menurut cerita turun temurun, di gunung ini sering terdengar dentingan logam seperti empu sedang menempa besi, sehingga penduduk memberinya nama Papandayan.
Ada yang lucu di gunung ini, banyak petani yang menuju kawasan punggungan gunung dengan naik sepeda motor, padahal untuk pejalan kaki aja jalannya menanjak banget, mungkin diantara mereka tersembunyi atlet motor kros yang tak tersentuh hingar bingar dunia balap. Belum lagi di boncengan ada dua tiga karung kentang.
Kawah Mas
Kepulan Kawah Mas |
Jalan menuju Pondok Salada terputus karena longsor., sehingga harus turun untuk mencapai jalan sebelah sana. Sungguh dasyat longsor ini memutus tebing besar.
Pondok selada
Pondok Selada dipenuhi rumput savana dan Edelweis. Ukuran edelweis di tempat ini terbilang mini jika dibanding Gede, tapi sangat banyak. Setelah melewati kali kecil yang ada pipa / selang air (dialirkan ke bawah oleh penduduk sebagai sumber air) masuk ke areal hutan. Rimbun hutan kiri kanan, disambut dengan hutan mati di atas sana.
Hutan Mati
Sehabis Pondok Salada, masuk ke hutan mati. Sungguh hebat kerusakan karena letusan tahun 2002. Pohon tinggal tersisa batang-batang hangus berjajar-jajar, seperti setting film angkasa luar.
Tanah kapur putih, ditumbuhi tongkat-tongkat hangus, untung lewat bagian ini siang hari, kalau malam mungkin ribet karena bingung menentukan jalur.
Hutan Mati
Hutan Mati |
Tanah kapur putih, ditumbuhi tongkat-tongkat hangus, untung lewat bagian ini siang hari, kalau malam mungkin ribet karena bingung menentukan jalur.
Tegal Alun
Tegal Alun, dataran luas dipenuhi rumput savana dan Edelweis jawa (Anaphalis javanicus). Struktur tanahnya gembur, seperti berjalan di atas matras. Setelah 3 jam 50 menit berjalan dari base camp, tim sampai di Tegal Alun. Tenda didirikan, sambil menunggu sore, jalan-jalan keliling areal Tegal Alun menikmati Edelweis jawa yang melimpah. Dan ternyata Areal Tegal Alun adalah jalur lintasan macan kumbang dan babi hutan. Karena struktur tanah yang gembur, jejak macan kumbang (Panthera pardus melas) terlihat jelas di sela-sela rumput, juga jejak babi hutan (Sus scrofa). Karena penasaran kucoba memotret bekas tapak dua musuh bebuyutan ini. Berharap cemas, semoga tenda yang terlanjur didirikan tidak diseruduk hewan berbulu kasar ini.
Malam di Tegal Alun sangat dingin, lebih dingin dari Cikuray. Sebenarnya langit lagi cerah saat itu, milyaran bintang berteman bulan muda bertebaran di atas sana. Tapi udara sungguh dingin. Tak kuasa meskipun sudah buat api unggun, dan sarungan, tetap udara dingin tembus di sela-sela telinga.
Available in English version.
Jejak Panthera Pardus |
Malam di Tegal Alun sangat dingin, lebih dingin dari Cikuray. Sebenarnya langit lagi cerah saat itu, milyaran bintang berteman bulan muda bertebaran di atas sana. Tapi udara sungguh dingin. Tak kuasa meskipun sudah buat api unggun, dan sarungan, tetap udara dingin tembus di sela-sela telinga.
Available in English version.
Komentar
mudah2an tidak kapok berkujung ke papandayan., :)